Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana | Muhammad Yasir
Kamis, 05 November 2020 | 20:48 WIB
aksi peringatan Tragedi Semanggi di depan kampus Universitas Atmajaya, Semanggi, Jakarta, Senin (13/11).

SuaraJakarta.id - Jaksa Agung ST Burhanuddin melawan. Kejaksaan Agung banding atas vonis bersalah ST Burhanuddin menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. 

Kejaksaan Agung RI optimis memenangkan gugatan banding. Gugatan banding tersebut sedianya akan diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) dalam waktu dekat ini.

Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung RI Feri Wibisono mengatakan pihaknya optimis akan memenangkan upaya banding tersebut lantaran dalam putusan majelis hakim PTUN dinilai banyak ditemukan kesalahan.

"Dari sisi melihat kesalahan-kesalahan yang begitu banyak saya yakin (memenangkan gugatan banding) demi kepentingan hukum, ini harus dibenarkan," kata Feri di Kantor Kejaksaan Agung RI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (5/10/2020).

Baca Juga: Divonis Bersalah Soal Tragedi Semanggi, Jaksa Agung Ajukan Banding ke PTTUN

Di sisi lain, dia menilai putusan majelis hakim PTUN yang memvonis Jaksa Agung bersalah juga tidak bisa dibenarkan karena tidak berdasar pada hukum acara persidangan.

aksi peringatan Tragedi Semanggi di depan kampus Universitas Atmajaya, Semanggi, Jakarta, Senin (13/11).

Salah satunya, yakni mengabaikan bukti-bukti yang disampaikan pihaknya selaku tergugat.

Feri merincikan, bukti-bukti yang diabaikan itu berupa video terkait pernyataan lengkap Jaksa Agung soal Tragedi Semanggi I dan II dalam Rapat Kerja (Raker) di DPR. Selain itu, ada pula bukti-bukti berupa keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan.

"Padahal seharusnya untuk kelengkapan dan kejelasan tentang fakta, hakim berkewajiban menilai bukti-bukti ini. Jadi kami memandang bahwa banyak sekali kelalaian hakim disini dalam proses kewajibannya memeriksa dan mengadili perkara ini," katanya.

PTUN Jakarta sebelumnya resmi memutus bersalah Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait pernyataannya yang menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.

Baca Juga: Kejagung Buka Suara Jaksa Agung Divonis Bersalah soal Tragedi Semanggi

aksi peringatan Tragedi Semanggi di depan kampus Universitas Atmajaya, Semanggi, Jakarta, Senin (13/11).

Pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin soal tragedi Semanggi itu dia lontarkan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada 16 Januari 2020 lalu.

Selain memvonis bersalah Jaksa Agung, PTUN juga memerintahkan agar orang nomor satu di Korps Adhyaksa itu membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan/keputusan yang menyatakan sebaliknya.

Putusan itu ditampilkan PTUN Jakarta dalam sistem e-court dengan nomor perkara 99/G/TF/2020/PTUN.JKT pada Rabu (4/11/2020) pagi.

Penggugatnya adalah Maria Catarina Sumarsih seorang ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya; dan Ho Kim Ngo, ibu almarhum Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang tewas saat Tragedi Semanggi I 1998.

aksi peringatan Tragedi Semanggi di depan kampus Universitas Atmajaya, Semanggi, Jakarta, Senin (13/11).

"Amar putusan, ekseksi: menyatakan eksepsi-eksepsi yang disampaikan tergugat tidak diterima, pokok perkara: mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," demikian penggalan dari amar putusan tersebut.

Putusan ini ditandatangani oleh Hakim Ketua Andi Muh Ali Rahman dan Umar Dani sebagai Hakim Anggota.

PTUN mengabulkan gugatan Sumarsih dan menyatakan bahwa pernyataan Burhanuddin dalam rapat tersebut adalah perbuatan melawan hukum oleh pejabat pemerintahan.

Bunyi putusannya: "Menyatakan Tindakan Pemerintah yang dilakukan TERGUGAT berupa Penyampaian dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung pada tanggal 16 Januari 2020, yang menyampaikan: "Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM" adalah Perbuatan Melawan Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan".

Terakhir, PTUN menghukum Jaksa Agung untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp285 ribu.

Load More