Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah
Selasa, 17 November 2020 | 19:10 WIB
Tangkapan layar para pemateri dalam rilis survei Indikator Politik Indonesia soal Dinamika Elektoral Pilwalkot Tangsel: Dilema Partisipasi Pemilih di Era Pandemi, Selasa (17/11/2020). [Ist]

SuaraJakarta.id - Indikator Politik Indonesia (IPI) merilis hasil survei soal Dinamika Elektoral Pilwalkot Tangsel: Dilema Partisipasi Pemilih di Era Pandemi, Selasa (17/11/2020).

Dari berbagai temuan yang dipaparkan, potensi politik uang (money politic) dalam perhelatan Pilkada Tangsel 2020 masih cukup tinggi.

Hal itu lantaran ada sekitar 56,8 persen responden yang menganggap bahwa menerima uang pemberian dari pasangan calon dan tim suksesnya dianggap sebagai hal wajar.

"Toleransi politik uang meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir di Kota Tangsel," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi virtual, Selasa (17/11/2020).

Baca Juga: Diperiksa soal 'Coblos Udel', Keponakan Prabowo Dicecar 27 Pertanyaan

Burhan menerangkan meningkatnya kemungkinan politik uang dalam Pilkada Tangsel 2020 itu dampak dari situasi pandemi Covid-19 yang memperburuk ekonomi masyarakat.

Sehingga sikap permisif pemilih terhadap praktik jual beli suara di Tangerang Selatan naik.

"Meski begitu, efek politik uang tidak otomatis besar. Karena diantara pemilih yang menganggap politik uang itu wajar, tapi hampir 80 persen dari mereka menyatakan akan memilih sesuai hati nurani di bilik suara nanti," pungkasnya.

Anomali Pilkada Tangsel

Menariknya, meningkatnya potensi politik uang, diiringi dengan tingginya harapan para responden soal pemimpin yang memiliki sifat jujur, bisa percaya dan bersih dari korupsi yakni sebesar 61,9 persen.

Baca Juga: Ada Dugaan Politik Uang, Nia-Usman Laporkan Tim Dadang dan Sahrul Gunawan

Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, meningkatnya dua poin yang saling berlawanan itu menjadi alarm bahaya bagi demokrasi lokal di Tangsel.

Titi menyebut, besarnya harapan responden terhadap sifat pemimpin yang bersih dari korupsi dan meningkatnya pemilih yang anggap wajar politik uang itu sebagai anomali.

"Ketika saya mendengar harapan pemilih pemimpin yang jujur dan bersih korupsi, saya serasa dilempar ke bulan. Tetapi ketika penerimaan money politic yang juga tinggi, saya serasa dibanting lagi ke bumi," ungkapnya.

Menurutnya, dengan adanya hasil survei terkait potensi politik uang yang cukup tinggi itu, menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi penyelenggara, pasangan calon dan tim sukses untuk meminimalisir dan memberantas money politic.

"Perlu dorongan besar dari penyelenggara, publik dan media, politik bersih harus ekstra dilakukan," tambah Titi.

Soal partisipasi pemilih pun, lanjut Titi, harus jadi perhatian besar.

Pasalnya, selama Pilkada Tangsel tingkat partisipasinya tidak lebih dari 60 persen.

"Sebagai warga Tangsel yang juga memiliki hak memilih, sosialisasi dari penyelenggara saya merasa kurang terpapar tata cara pemilihan. Kurangnya informasi rekam jejak kandidat dan interaksi dengan penyelenggara minim sekali," ungkap Titi.

Partisipasi Pemilih

Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto menyebut, ada sejumlah tantangan dalam meningkatkan partisipasi pemilih di Pilkada Tangsel 2020.

"Tantangannya yakni, ada situasi tidak nyaman disaat pandemi ini yang membuat orang makin malas datang ke TPS. Selain itu, Pemilu dilaksanakan hari Rabu, banyak warga Tangsel kerja di Jakarta dan memilih bekerja. Dalam sosialisasi, merasa tidak ada pelibatan," pungkasnya.

Kontributor : Wivy Hikmatullah

Load More