Scroll untuk membaca artikel
Bangun Santoso | Yaumal Asri Adi Hutasuhut
Rabu, 12 Mei 2021 | 09:36 WIB
Jasa penukaran uang baru di kawasan Kota Tua Jakarta. (Suara.com/Yaumal Asri)

SuaraJakarta.id -
Selasa (11/5/2021) siang di kawasan Kota Tua, Jakarta Pusat, Purnia kembali menjalani profesi musimannya sebagai penyedia jasa penukaran uang baru, setelah sempat terhenti tahun lalu karena bertepatan masuknya pandemi Covid-19 ke Tanah Air.

“Tahun lalu saya tidak tukarkan uang, karena si covid ini,” ujar Purnia saat ditemui Suara.com.

Mengenakan jaket hitam, kain syal yang terlilit menutup leher hingga belakang kepalanya, sebuah topi merah menutupi kepalanya dari teriknya mentari pukul 12 siang.

Tas ransel yang seharusnya terpasang di pundaknya, kini berpindah ke depan. Bukan tanpa alasan, karena di dalamnya terdapat uang puluhan juta rupiah.

Sementara di tangannya, terdapat berbagai pecahan uang, mulai dari Rp 2.000 hingga yang terbaru pecahan Rp 75.000.

Di tengah suasana jalanan kawasan Kota Tua yang saat itu sepi, senyum ramah tiba-tiba lepas begitu saja dari wajahnya, ketika salah seorang pengendara sepeda motor mendekatinya.

“Mau tukar berapa bang,” ujarnya sembari beranjak dari tempat duduknya.

Transaksinya dengan pengendara motor itu pun berlalu. Kembali, perempuan asal Siantar, Sumatera Utara ini pun merapikan uang di genggamannya.

“Tahun ini sepi. Ini juga karena jalanan menuju ke sini ada yang ditutup. Ini kan biasanya ramai. Berkurang 50-60 persen pendapatan saya,” katanya sambil mendudukkan dirinya kembali di kursi plastik.

Kata dia, lima hari menjelang lebaran kawasan Kota Tua biasanya akan ramai didatangi warga Ibu Kota yang ingin menukarkan uang baru. Namun kali ini, harapan itu berbanding terbalik, hanya ada beberapa yang datang, itupun pengendara yang kebetulan melintas.

Kondisi itu, kata dia, karena pandemi Covid-19 yang masih terjadi, ditambah pemberlakuan larangan mudik.

Pada saat ini, dia hanya mampu menjajakan penukaran uang senilai Rp 4 juta sampai Rp 5 juta dalam sehari, dengan keuntungan bersih 5 persen.

“Kami hanya dapat 5 persen saja, memang kalau ada orang yang menukar komisinya itu 10 persen, Tapi kan 5 persennya lagi untuk bandar,” katanya.

Sementara sebelum Covid-19, nilai uang yang ditukar kepadanya bisa mencapai Rp 10 juta hingga Rp 20 juta. Sebelum pandemi, minat masyarakat yang ingin menukarkan uang di kawasan Kota Tua sebenarnya sudah mulai berkurang dalam beberapa tahun terakhir ini.

Itu disebabkan menjamurnya penyedia jasa yang sama di beberapa sudut Jakarta. Karenanya, kawasan Kota Tua tidak lagi menjadi tujuan utama masyarakat untuk menukarkan uang baru.

“Semakin ke sini semakin merosot, karena sekarang sudah tersebar di mana-mana penukaran uang. Di daerah, di gang, kayak minimarket lah, tidak terpusat di satu tempat lagi. Ini kan pusatnya kota, ini pusatnya penukaran uang baru,” ujarnya.

Belum lagi, kebijakan bank yang memberikan jatah penukaran uang baru bagi perusahaan-perusahaan, demi memudahkan para karyawan.

Perempuan paruh baya ini pun mengenang, saat awal menjalani profesi musimannya ini, sekitar 10 tahun yang lalu, dia bisa menjajakan penukaran uang berpuluh-puluh juta rupiah. Bahkan sempat dalam sehari dia mendapatkan keuntungan Rp 4 juta.

“Itu pendapatan tertinggi saya, bersih dapat Rp 4 juta,” katanya.

“Makanya ada cerita dulu bisa beli mobil atau rumah. Itu kejadiannya 10 tahun lalu, itu juga modalnya ratusan juta itu. Kalau saya modalnya dikit, itu juga berutang,” ujarnya sambil tertawa.

Ditukar di Bandar

Purnia mengungkapkan, puluhan juta uang baru diperolehnya dari seorang agen, atau biasa mereka sebut bandar.

Biasanya, beberapa hari sebelum bulan puasa, dia sudah memesan kepada bandar, dengan persyaratan membayarkan uang muka terlebih dahulu.

“Bandarnya orang-orang kaya, yang punya duit ratusan juta,” ungkapnya.

Adapun keuntungan yang diperoleh bandar sebesar 5 persen dari total jumlah uang yang ditukar. Selanjutnya kepada masyarakat dia mematok jasa tukar 10 persen.

Kadang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, Purnia rela ikut antre langsung di bank.

“Kadang saya ambil di bank. Saya antre dikasih Rp 1,7 juta. Besoknya antre lagi,” katanya.

Sementara itu, untuk uang pecahan yang menjadi favorit masyarakat, lembaran uang Rp 2.000 dan Rp 5.000.

Karenanya jika permintaan nominal itu tinggi, sang bandar sering kali menaikkan komisi penukarannya menjadi 8 persen. Otomatis komisi persenan dari konsumen turut naik juga.

“Pernah kayak dua ribu, dulu kan peminatnya banyak, bandar naikkan jadi 8 persen, kita tidak mungkin hanya dapat untung 2 persen, jadi kami naikkan juga menjadi 12 persen dari jumlah uang yang ditukar,” imbuh Purnia.

Load More