Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Minggu, 17 April 2022 | 14:27 WIB
Musala atau Langgar Tinggi yang menjadi saksi kejayaan Bangsa Arab Yaman di Pekojan, Jakarta Barat, Sabtu (16/4/2022). [Suara.com/Faqih Fathurrahman]

SuaraJakarta.id - Penyebaran Agama Islam di pelosok Nusantara tak bisa dilepaskan begitu saja dengan sosok pendatang dari berbagai negeri kawasan Asia Barat. Mereka yang datang ke Nusantara merupakan sosok saudagar yang sangat identik dengan aktivitas perniagaan.

Seperti halnya penyebaran Islam di Jakarta, khususnya di wilayah Pekojan Jakarta Barat berabad silam. Kedatangan Bangsa Arab Yaman pun meninggalkan jejak berdirinya sebuah langgar atau musala yang menjadi tempat peribadatan para pendatang saat datangnya waktu salat.

Kedatangan Bangsa Arab Yaman di Pekojan bermula pada tahun 1833 atau satu abad lebih sebelum Indonesia Merdeka.

Saudagar Bangsa Arab Yaman yang datang ke Indonesia untuk berniaga mendirikan sebuah langgar. Mereka menamakannya langgar tinggi.

Baca Juga: Kisah Salah Arah Kiblat dan Karomah Syekh Nawawi al-Bantani di Masjid Jami An Nawier Pekojan

Sesuai dengan namanya, langgar tersebut memiliki bangunan dua lantai. Uniknya, lantai dasar di langgar tersebut digunakan Bangsa Arab Yaman  untuk bertemu kolega dagang mereka.

Langgar Tinggi sendiri terletak di bibir Sungai atau Kali Angke. Pada masa itu, Kali Angke merupakan salah satu jalur transportasi perniagaan yang ada di Batavia.

Pengelola Langgar Tinggi, yang juga merupakan keturunan Arab Yaman, Achmad Alwi Asegaf mengatakan, bangunan dua lantai ini dibangun oleh para saudagar dari hasil perdagangan. 

“Jadi hasil dagangan mereka dipakai untuk syiar Islam, makanya didirikan langgar tinggi ini di dekat kali Pekojan atau kali Angke, yang dulunya dipake untuk transportasi, sebelum ada mobil, pakai getek,” jelas Achmad kepada Suara.com, di Pekojan, Sabtu (17/4/2022).

Semasa Penjajahan Kolonial Belanda, para keturunan Arab Yaman ini menggunakan lantai dasar Langgar Tinggi untuk menyambut kolega mereka yang datang dari berbagai penjuru.

Baca Juga: Bubur India, Sajian Buka Puasa di Masjid Pekojan Semarang

“Jadi dalam perdagangan mereka, dengan para kolega dari Tangerang, seran, kulon, bawa duren semangka kelapa, parkirnya di sini. Parkirnya di Langgar Tinggi,” ujarnya.

Meski di usianya yang mencapai ratusan tahun, hingga kini, Langgar Tinggi masih kokoh berdiri. Pondasinya yang menggunakan batu candi yang masih terkunci rapat dan tidak tergerus zaman.

Langgar berlantai kayu jati nomor wahid, menurut Achmad, sekaligus menjadi saksi bisu sejarah perubahan warna pada Kali Angke. Jika diamati, bangunan ini memiliki tiga aksen budaya yakni Cina, Arab, dan Portugis.

“Ini ada beberapa perpaduan budaya, ini dia punya pondasi itu dari batu cina atau batu candi yang saling mengikat, sehingga tidak mudah erosi atau retak. Ini batu cina nih panjangnya ada yang dua meter, ada yang semeter, mereka saling mengikat. Nah untuk arsitek mereka perpaduan Portugis, Arab dan Cina,” paparnya.

Selama bangunan ini berdiri, Achmad mengemukakan, belum ada perubahan fisik secara signifikan. Sehingga keaslian bangunan masih dipertahankan hingga kini, meski ada beberapa bagian bangunan yang direnovasi atau mengalami perbaikan.

“Yang ada disini, bahan jati yang betul-betul kelas tinggi. Sehingga hingga saat ini, bahan jati belom ada yang diubah. Belum ada yang diganti. Paling renovasi sekitar tembok yang gempur.”

Pernah Menjadi Masjid

Meski Langgar Tinggi merupakan musala, fungsinya ternyata pernah berubah menjadi masjid. Lantaran pernah menggelar Salat Jumat.

Namun itu tidak berlangsung lama. Achmad mengemukakan, perubahan fungsi sementara tersebut terjadi saat Masjid An Nawier, yang berdekatan dengan Langgar Tinggi sedang dalam proses renovasi. 

“Selama saat itu diperbaiki, diperbesar. Dulu An Nawier kecil, diperbesar oleh Bangsa Alaydrus, (Salat) Jumat pindah ke Langgar Tinggi. Jadi ini tadinya langgar pernah jadi masjid, tapi sekarang tetep jadi langgar. Setelah selesai, maka jemaah pindah Salat (Jumat) kembali ke masjid. Karena itu masjid ini langgar atau musala,” ungkapnya.

Kontributor : Faqih Fathurrahman

Load More