Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno | Faqih Fathurrahman
Senin, 09 Oktober 2023 | 23:35 WIB
Foto udara pemandangan di Kota Jakarta, Senin (18/9/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

SuaraJakarta.id - Cuaca Jakarta yang ekstrem dalam beberapa bulan terakhir membuat sejumlah warga harus ekstra menjaga kesehatan. Apalagi panas yang menyengat kerap terjadi di ibu kota.

Kondisi tersebut diakui pengemudi ojek online Abdul Latif. Pria berusia 43 tahun itu mengaku tidak tahan dengan cuaca panas yang dirasakannya dalam beberapa waktu belakangan.

Warga Cengkareng ini mengaku merasa wajahnya seperti terbakar, karena saking panasnya cuaca di Jakarta.

"Wajah saya itu udah kayak kebakar, saking panasnya," kata Latif, kepada Suara.com, di Cengkareng Jakarta Barat, Senin (9/10/2023).

Baca Juga: Dampak El Nino Bakal Dirasakan Hingga Maret 2024, Pemerintah Ingatkan Waspada Suhu Panas

Latif mengatakan cuaca panas yang terjadi di Jakarta saat ini tidak wajar. Sebab ia merasakan tak hanya panas matahari yang dirasakannya, tetapi pantulan panas dari aspal.

"Panas nggak cuma dari mataharinya, kadang dari aspal juga mantul hawa panas. Apalagi kalau pas lampu merah dan nunggu di perlintasan kereta, itu mah udah ampun aja saya," tambahnya.

Akibat panas yang dinilainya terlalu ektrim, ia juga sempat sakit gegara mengonsumsi air es lantaran cuaca yang terik.

"Kemarin sempat minum es, tapi besokannya sakit tenggorokan. Makanya sekarang saya minum air putih biasa aja," katanya.

Pengemudi ojek online Latif merasakan panas di Jakarta sudah tidak seperti biasanya. [Suara.com/Faqih]

Sementara itu, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika mengemukakan panas yang terasa di Jakarta merupakan dampak El Nino.

Baca Juga: Presiden Jokowi Pastikan Produksi Padi Nasional Maksimal Ditengah Ancaman El Nino

Fenomena El Nino sendiri mengacu pada pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah, diprediksi masih akan terus berlanjut di Indonesia hingga awal 2024.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan dampak El Nino masih akan terjadi hingga Maret.

"Februari 2024. Tahun depan kalau dari perhitungan prediksi, Maret itu mulai melemah tapi belum berakhir," kata Dwikoritas usai rapat koordinasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Senin (9/10/2023).

"Tapi, Alhamdulillah-nya November itu diprediksi angin yang dari Australia itu sudah digantikan dengan angin dari arah asia yang membawa uap air. Dan itu yang menyebabkan turun hujan," sambungnya.

Senada dengan Dwikorita, Menkopolhukam Mahfud MD meminta agar dampak El Nino harus diantisipasi sampai Februari dan Maret 2024.

"Perkiraan moderatnya memang sampai Januari," kata Mahfud.

Meski begitu, ia mengatakan, puncak dampak El Nino terjadi pada September dan Oktoboer 2024. Karena itu perlu diwaspadai, terlebih suhu panas yang lebih lantaran nihilnya awan

"Saat ini kita sedang ada di dalamnya di mana terjadi suhu yang panas karena awan hujan hampir tidak ada. Sinar matahari langsung ke tubuh karena tidak ada tameng awan sekarang ini," katanya.

Mahfud kemudian mengimbau agar mewaspadai puncak El Nino yang masih berlangsung pada saat ini di Indonesia.

"Agar kita semua waspada karena hari-hari ini masih berada di puncak El Nino dan masih akan berlangsung cukup lama, diprediksi tadi oleh Bu Dwikorita sampai awal tahun depan," tutur Mahfud di Kementerian LHK.

Sementara itu terkait keberadaan awan yang minim juga berdampak terhadap pembentukan hujan secara buatan melalui teknik modifikasi cuaca atau TMC.

Dwikorita mengaku TMC mengalami kesulitan dilakukan akibat hal tersebut

"Ada (kesulitan) karena nggak ada awan," kata Dwikorita.

Awan menjadi modal utama dalam melakukan TMC guna membuat hujan buatan. Kekinian karena keberadaan awan yang minim, pembuatan hujan melalui TMC tidak bisa dipastikan selalu berhasil.

"Iya, modal utama untuk TMC itu ada awan yang berpotensi hujan. Jadi kita harus prediksi dulu ini ya, kira-kira awan ada nggak? Kalau dipaksakan, jadi tidak selalu berhasil karena awannya sebetulnya masih kurang tapi kita paksakan dan itu kadang bisa turun, kadang nggak bisa," kata Dwikorita.

Load More