SuaraJakarta.id - "Auuu," jerit keterkejutan bercampur kesedihan keluar dari mulut Ipin, janda empat anak di Kabupaten Tangerang, Banten. Tak ada hujan dan tak ada angin, gubrak…tempatnya berlindung bersama buah hatinya di kala siang dan malam tetiba ambruk.
Sudah satu bulan rumah yang berada di Jalan Raya Sultan Hasanudin, Desa Sangiang Gede, Kecamatan Separan Timur, itu ambruk. Bahkan nyaris sudah tidak berbentuk. Tersisa hanya atap rumah yang tinggal separuh.
"Kejadiannya sore jam tiga. Untungnya saya sedang di depan rumah. Mendengar suara gubrak saya kaget, teriak, dan langsung istighfar," ucap Ipin ditemui Suara.com di lokasi, Kamis (27/8/2020).
"Saya melihat genteng sudah jatuh berserakan di bawah dan rumah orang tua saya juga ikut terkena," lanjutnya.
Baca Juga:Getir Hidup Transpuan Bandung Dihantam Pandemi Corona Hingga Diskriminasi
Ipin kini hanya bisa termangu. Rumah yang ditinggalinya selama bertahun-tahun itu kondisinya jangankan dipakai untuk beristirahat, dibuat sekadar untuk duduk-duduk pun tak bisa.
Hanya kasur kapuk berukuran kecil yang kotor dan barang-barang yang sudah usang yang dibiarkan tertinggal. Rumah Ipin terletak tepat di belakang kediaman sang ibu, Ani, yang sudah di usia senja.
"Semula atap rumah saya menyatu dengan belakang rumah emak. Tapi memang sudah reot," tuturnya.
Tanggungan Tiga Anak
Kini bukan renovasi rumah yang jadi prioritas Ipin. Untuk biaya kebutuhan menghidupi tiga anaknya saja Ipin harus memutar otaknya ekstra keras.
Baca Juga:Getir Kehidupan Bos Pakaian di Tanah Abang Ubah Haluan Jadi Manusia Silver
Ipin sama sekali tak memiliki pekerjaan. Untuk makan, minum dan kebutuhan lainnya ia ‘berharap belas kasihan’ dari kedua adik perempuannya yang sudah berkeluarga dan juga tinggal bersama sang ibu.
Ipin masih memiliki tanggungan membesarkan tiga anaknya yang masih pada kecil. Anak pertamanya sudah menikah dan tinggal terpisah.
"Saya enggak mau harapin anak pertama saya yang perempuan yang sudah menikah. Boro-boro buat ngasih orang tua, buat dirinya saja kekurangan terus, suaminya tukang parkir," tuturnya.
"Jadi tinggal bagaimana mikirin rumah dan tiga anak saya. Salah satunya sudah ada yang putus sekolah (anak kedua Ipin—red) karena enggak mampu buat biayain. Dia mau masuk pesantren," imbuhnya.
Bantuan Pemerintah
Ipin mengaku telah dua kali menjanda. Pernikahan pertamanya berujung cerai dan menghasilkan empat buah hati.
Sedangkan pernikahan kedua Ipin hanya berumur tiga bulan. Ia ditinggal sang suami yang meninggal dunia.
Sepekan lalu pihak kecamatan Separan Timur telah menyambangi rumah Ipin. Kedatangan mereka untuk meninjau kerusakan rumah Ipin serta memberikan bantuan berupa beras dan sejumlah uang tunai.
"Minggu lalu dari kecamatan datang ke sini. Mereka foto-foto rumah saya. Dan saya mendapatkan bantuan beras dan uang Rp 500 ribu,” ungkapnya.
"Jujur, uang segitu enggak cukup buat renovasi rumah. Uang itu hanya untuk kebutuhan hidup," paparnya.
Himpit-himpitan
Kehidupan Ipin kini sungguh getir. Jauh di bawah kata pas-pasan, benar-benar serba kekurangan.
Untuk tidur saja Ipin dan anak-anaknya harus himpit-himpitan di ruang tamu berukuran sekitar 3x3 meter bersama sang ibunda.
Di rumah yang tak begitu luas itu sejatinya ada tiga ruangan: dua kamar tidur dan satu ruang tamu.
Namun kamar kedua ikut ambruk lantaran atapnya nyambung dengan rumah Ipin yang berada di belakang.
"Untuk tidur saja saya dan anak-anak di ruang tamu rumah orang tua. Itu pun harus sesek-sesekan dengan orang tua, adik dan ponakan. Jadi semua bareng-bareng di sini, seketemunya makan," paparnya.
Tukang Kayu
Iin, adik dari Ipin, membenarkan kakak kandungnya bersama ketiga keponakannya itu tidur bersama-samanya di ruang tamu.
Iin telah bersuami dan memiliki dua anak. Sang suami memiliki usaha kecil-kecilan di bidang perkayuan.
Namun jangan berpikir penghasilan dari usaha tersebut besar. Penghasilan suami Iin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan seluruh anggota keluarga yang ada di rumah tersebut. Itu pun ala kadarnya saja untuk makan.
“Kalau saya masih punya suami dan punya usaha kecil-kecilan tukang kayu. Cukup untuk biaya makan semua di sini, termasuk orang tua," terangnya.
Iin mengatakan penghasilan suaminya tidak cukup jika untuk membiayai sekolah anak-anak Ipin. Sebab, Iin juga memiliki dua anak.
"Makanya saya berharap ada bantuan dari pemerintah setidaknya untuk merenovasi rumah kakak saya. Karena di sini jadi sempit-sempitan tidur. Ada tiga keluarga, saya, Ipin dan adik saya yang sudah berkeluarga," ungkapnya.
Bantuan Baru Sekali
Di usia senjanya yang sudah 70 tahun, Ani hanya bisa pasrah. Ia tak bisa membantu menopang kehidupan anak, menantu dan cucu-cucunya.
Sudah lama Ani ditinggal sang suami karena meninggal dunia. Buah asmaranya bersama sang suami menghasilkan tiga anak perempuan: Ipin, Iin, dan Komalia.
Dengan suara terbata-bata kepada Suara.com, Ani menceritakan minimnya bantuan dari pemerintah. Ia menghitungnya baru sekali bantuan itu diterimanya.
Untuk memasak pun, Ani masih menggunakan tungku kayu. Ia tak mampu membeli kompor gas sebagaimana umumnya yang digunakan oleh masyarakat di perkotaan dewasa ini.
"Saya sudah tua, enggak bisa lagi kerja. Paling cuma nyari kayu bekas untuk masak pakai tungku. Saya harap ada bantuan (pemerintah)," paparnya.
Akses Jalan Rusak
Saat menyambangi rumah Ipin dan keluarga, Suara.com harus melewati jalanan cukup terjal. Hanya sesekali saja jalanan yang beraspal.
Selebihnya, lebih banyak melewati jalan tanah hingga menyusuri sawah dan kali. Jalanannya pun berkelok-kelok.
Tidak sedikit pula jalanan yang beraspal sudah banyak berlubang.
Sulitnya akses jalan membuat Ipin nyaris luput dari perhatian pemerintah setempat.
"Kalau sekarang jalanan buat saya sudah lebih baik, cuma memang ada mau masuk sini jalanan rusak dan tidak beraspal," tutur Ipin.
Kontributor : Ridsha Vimanda Nasution