SuaraJakarta.id - Negara cenderung terlihat gamang atau gentar ketika berhadapan dengan organisasi keagamaan Front Pembela Islam dan pimpinannya Habib Rizieq Shihab, kata peneliti Saiful Mujani Research and Consulting Saidiman Ahmad.
Hal itu disebabkan karena "kesalahan" perspektif para pengambil kebijakan yang memandang FPI sebagai representasi mayoritas Muslim di Indonesia sehingga memiliki kekuatan yang besar - padahal kenyataannya sebaliknya, kata Saidiman.
Faktor tersebut mengakibatkan beragam aksi intoleran yang dilakukan kelompok itu, seperti pelarangan dan penutupan gereja, lalu intimidasi dan penyerangan pada kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Gafatar, serta melakukan razia, seolah dibiarkan oleh negara.
Selain itu, faktor lain yang mengesankan pemerintah 'gamang' menangani FPI dan Habib Rizieq kemungkinan dipicu asumsi adanya elit yang diduga memanfaatkan FPI untuk kepentingan politik, kata pengamat politik Universitas Indonesia Cecep Hidayat.
Baca Juga:Dokter Forensik Polri Dipanggil Komnas HAM Terkait Autopsi 6 Laskar FPI
Di sisi lain, kuasa hukum Habib Rizieq mengatakan status tersangka kliennya memiliki muatan politik yang besar dibandingkan perkara hukum.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan tidak boleh ada masyarakat yang semena-mena melanggar hukum dan aparat hukum wajib menggunakan kewenangannya secara wajar dan terukur.
"Jadi, sudah merupakan kewajiban aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum secara tegas dan adil. Dan ingat, aparat hukum itu dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya," kata Jokowi saat menanggapi tewasnya enam anggota FPI dan empat orang warga Sigi, Sulawesi Tengah.
Persepsi yang 'salah'
Minggu dini hari, 13 Desember, Habib Rizieq Shihab resmi ditahan, sebulan setelah kepulangannya dari Arab Saudi yang dipenuhi ingar bingar kontroversi kerumunan massa - mulai dari penyambutan kedatangannya hingga pernikahan putrinya - serta bagaimana cara pemerintahan Jokowi menanganinya.
Penetapan Habib Rizieq sebagai tersangka dan penahanannya tak lalu membuat kegaduhan itu mereda, sejumlah reaksi muncul termasuk dari kalangan politisi.
Baca Juga:Dituding Punya Senjata Api, Munarman: Mahal, Laskar FPI Enggak Bisa Beli
Paling tidak terekam oleh politikus Gerindra Habiburokhman dan Fadli Zon, serta politikus Partai Keadilan Sejahtera Aboe Bakar Al-Habsyi, yang menyatakan siap menjadi penjamin penangguhan penahanan Rizieq.
Saidiman Ahmad mengatakan telah lama negara, seperti pemerintah, politisi dan aparat keamanan, memandang FPI sebagai kelompok yang memiliki pengaruh besar. Artinya, melawan mereka sama dengan melawan mayoritas umat Muslim Indonesia.
"Pandangan ini yang menyebabkan kenapa negara sering gamang. Seolah-olah peristiwa-peristiwa seperti gereja ditutup, kelompok minoritas diserang oleh organisasi intoleran itu, kemudian pejabat diam dan menganggap itu aspirasi mayoritas. Menurut saya ada salah persepsi di sana. Dalam temuan kita tidak sebenarnya," kata Saidiman.
Berdasarkan survei SMRC pada November 2020 lalu, kata Saidiman, terdapat 73% responden mengetahui Habib Rizieq. Dari jumlah tersebut, 43% mengatakan suka dengan Habib Rizieq.
Bandingkan misalnya dengan hasil survei terhadap Ridwan Kamil, 65% tahu dengan kesukaan mencapai 85%, dan juga Ganjar Pranowo di mana 54% responden tahu dan 85% di antaranya suka.
- Apa arti kepulangan Rizieq Shihab bagi politik Indonesia?
- Komnas HAM temukan bukti 'memperjelas' insiden tewasnya anggota FPI, apa yang diketahui sejauh ini?
- Rekonstruksi penembakan, polisi sebut dua anggota FPI tewas dalam baku tembak
Terkait FPI, hasil survei menunjukkan sebanyak 69% mengetahui ormas yang bermarkas di Petamburan, Jakarta itu dan dari jumlah tersebut hanya 43% menyukai FPI.
Bandingkan dengan Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, di mana sebanyak 79% mengenal dan 80% mendukung perjuangan NU, berdasarkan survei Januari 2018.
"Dari data itu, level disukainya sangat rendah. Artinya, FPI dan Habib Rizieq tidak terlalu mengancam secara politik, pengaruhnya tidak cukup signifikan dan juga tidak didukung publik mayoritas," kata Saidiman.
"Mengapa tidak disukai mayoritas publik? Karena Rizieq orangnya ekstrem, mengambil posisi di ujung, sama seperti liberal ekstrim, yang memunculkan kelompok fanatik sehingga melawan arus mayoritas yang cenderung di tengah, moderat, seperti NU dan Muhammadiyah," kata Saidiman.
Saidiman menambahkan, peristiwa politik pada pilkada DKI tahun 2017 seperti demo 212 dan 411, di bawah koordinasi FPI, tidak merepresentasikan kekuatan sebenarnya.
"Pilkada DKI 2017 itu, kelompok fundamentalis, konservatif, dan radikal seperti ada pengikatnya dan menjadi solid, mereka bersatu bergerak melawan Ahok padahal biasanya mereka bermusuhan, dan ada partisipasi dari publik juga. Tapi secara jumlah dan pengaruh, FPI itu tidak besar," kata Saidiman.
Penegakan hukum kuncinya
Untuk itu Saidiman mengatakan, negara harus bersikap tegas menghadapi kelompok FPI dan garis keras lainnya.
"Jadi negara tidak perlu ragu mengambil kebijakan karena takut tekanan massa karena kelompok ini sebetulnya tidak signifikan secara politik dan publik mendukung penegakan hukum."
"Di survei kemarin, 49% mengaku tahu acara di rumah Rizieq, dan ternyata, dari jumlah itu 77% mendukung seandainya aparat keamanan membubarkan acara itu. Jadi penegakan hukum itu mendapat legitimasi sangat kuat dari publik," katanya.
Saidiman menambahkan, tren aksi-aksi intoleran dari FPI akan menurun jika Habib Rizieq dan pimpinan lainnya ditangkap.
"Dan itu dirasakan sejak 2008 hingga sekarang, dari sebelumnya hampir tiap minggu FPI mengancam. Penegakan hukum membuat aksi intoleran menurun," katanya.
Habib Rizieq telah enam kali menyandang kasus tersangka, dua di antaranya membuat dia berakhir dipenjara.
Pertama adalah tersangka demo anti-Amerika Serikat tahun 2001 karena menyebarkan kebencian. Setahun kemudian, ia ditetapkan menjadi tersangka penghasutan atas peristiwa pengrusakan tempat hiburan di Jakarta dan mendekam dipenjara selama tujuh bulan.
Kemudian pada tahun 2008, Habib Rizieq menjadi tersangka pengeroyokan dan kerusuhan di Monas dengan vonis 1,5 tahun penjara.
Pada tahun 2017, Habib Rizieq ditetapkan sebagai tersangka di dua kasus yaitu pornografi dan penghinaan Pancasila. Kedua kasus ini dihentikan polisi.
Lalu, terakhir dan terbaru, Habib Rizieq menjadi tersangka kerumunan massa yang melanggar protokol kesehatan Covid-19.
Habib Rizieq disangka melanggar UU Kekarantinaan Kesehatan dan pasal pidana, yang intinya ia disangka menghasut masyarakat supaya melakukan perbuatan pidana sehingga terjadi kedaruratan kesehatan di masyarakat dan tidak menuruti perintah serta menghalangi petugas.
Habib Rizieq itu 'korban politik'
Kuasa hukum Habib Rizieq, Sugito Atmo Prawiro, membantah pendapat tersebut. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa kliennya adalah korban dari sikap pemerintah yang membungkus motif politik dengan perkara hukum.
"Dengan sikap keras dan kritis Habib Rizieq dalam mengkritik pemerintah maka ia sering dikriminalisasikan dengan selalu menggunakan tameng hukum. Menurut saya sudah dibidik," kata Sugito.
Sugito menambahkan, melalui beberapa kasus hukum yang 'dibuat-buat' bertujuan untuk membonsai FPI dan Habib Rizieq secara perlahan.
- Penembakan pengikut Rizieq Shihab, polisi klaim 'ada jelaga di tangan pelaku', FPI mengaku 'ada saksi yang melihat kejadian'
- Rizieq Shihab tersangka kasus pelanggaran protokol Covid-19, polisi siapkan 'pemanggilan atau penangkapan', FPI tuding 'dikriminalisasi'
- Tujuh perkara pidana yang membelit Rizieq Shihab
- Anies temui Rizieq: Seberapa efektif dukungan kalangan habib dalam kontestasi politik?
"Jumat Kliwon ada acara Watimpres di Pekalongan, tahapan pilkada banyak sekali pelanggaran dari pendaftaran, kampanye hingga pencoblosan, tapi tidak ada yang diproses dan ditetapkan tersangka, apalagi ditahan," kata Sugito.
"Lalu, saya contohkan berapa ratus kali laporan FPI sepertinya tidak ditanggapi tapi kalau misalnya beberapa orang yang melaporkan FPI langsung diproses, ditangkap, ada pemeriksaan, penetapan tersangka, dan penahanan. Ini kan jelas berbeda dan tidak adil," kata Sugito.
Mengenai tewasnya enam anggota FPI oleh peluru panas saat polisi melakukan penyelidikan, Sugito meminta agar segera dibentuk tim gabungan untuk mengusut penyebabnya.
Politikus PKS dan Gerindra 'siap jadi penjamin'
Politisi Partai Gerindra yang menjadi koalisi pemerintah, Habiburokhman mengatakan telah mengajukan diri untuk menjadi penjamin penangguhan penahanan Rizieq Shihab.
"Tujuan saya untuk menghindari kegaduhan dan meredam potensi politisasi perkara ini. Justru saya harus melindungi pemerintah jangan sampai diklaim represif, zalim. Biarkan proses hukum berjalan, sampai nanti pengadilan memutuskan ditahan atau tidak," kata Habiburokhman.
Selain Habiburokhman, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsyi, dan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Fadli Zon juga menyatakan siap menjadi penjamin penangguhan penahanan Rizieq.
FPI, ormas otonom atau alat politik?
Pengamat politik Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, mengatakan kesan kegamangan pemerintah ini muncul karena asumsi bahwa ada elit politik yang mengendalikan FPI.
"Islam di Indonesia itu tidak mono-identitas. Islam tradisional seperti NU, moderat Muhammadiyah, tarbiyah PKS, fundamental hingga radikal seperti FPI. Jadi tidak bisa dikatakan FPI mewakili mayoritas Islam Indonesia. Asumsi lain yang mungkin adalah karena ada penyokong atau aktor yang besar di belakang FPI yang membuat pemerintah ragu," kata Cecep.
Cecep menambahkan, Habib Rizieq dan FPI lahir dari Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pam Swakarsa pada 1998) yang memiliki beking dalam kekuatan dan pendanaan - artinya FPI sejak awal berdiri tidak otonom.
"Sekarang setelah Rizieq ditangkap, kita bisa melihat otonomi relatif FPI, apakah benar otonom atau sebenarnya hanya dikendalikan oleh elit-elit politik yang butuh massa sebagai pressure group," kata Cecep.
Jika FPI adalah kelompok otonom maka setelah penangkapan Habib Rizieq, massa FPI masih bahkan semakin kuat dalam melakukan perjuangan seperti berdemonstrasi dengan jumlah massa yang besar dan waktu yang konstan.
"Tapi jika sebaliknya FPI melemah, maka menunjukan FPI tidak otonomi dan besar asumsi tergantung pada funder," katanya.
Dikonfirmasi mengenai pendapat Cecep, kuasa hukum FPI membantahnya, namun tak memberi penjelasan lebih lanjut.
PDI-P: Jokowi tidak pernah gentar
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan membantah anggapan bahwa negara di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo cenderung gamang dalam menyikapi FPI dan Rizieq Shihab.
"Saat ini Pak Jokowi bersama seluruh alat kelengkapan negara berusaha meyakinkan publik bahwa negara sudah hadir di tengah masyarakat untuk memastikan bahwa negara tidak boleh kalah oleh aksi kekerasan, aksi teror, pemaksaan kehendak maupun juga perilaku-perilaku dominan yang mengaku mengatasnamakan kepentingan dan kebenaran sendiri," kata Arteria.
Ia juga meminta kepada Habib Rizieq dan kuasa hukumnya untuk tidak membawa kasus hukum ke ranah politik.
"Kalau pun di kemudian hari ditemukan ada penyimpangan bisa dilakukan upaya hukum lain yang dijamin oleh konstitusi misalnya proses pro justicia bermasalah ada kanal hukum bernama prapradilan, dan ada institusi pengawasan, jadi semua sudah terukur dan proporsional. Kita tidak perlu berprasangka kita berikan ruang dan waktu bagi alat kelengkapan negara untuk bekerja," kata Arteria.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan tidak boleh ada masyarakat yang semena-mena melanggar hukum, namun di sisi lain aparat hukum wajib menggunakan kewenangannya secara wajar dan terukur.
"Jadi, sudah merupakan kewajiban aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum secara tegas dan adil. Dan ingat, aparat hukum itu dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya," kata Jokowi menanggapi tewasnya enam anggota FPI.
https://twitter.com/mohmahfudmd/status/1337590463927238656
Menko Polhukam Mahfud MD juga mengatakan, telah mengundang tim kuasa hukum Habib Rizieq untuk mengatur dialog di tempat netral bersama Habib Rizieq guna menjaga negara dan kebaikan umat. Namun rencana itu kemudian dibatalkan.