SuaraJakarta.id - Wilayah Tangerang terkenal dengan akulturasi budaya Betawi, Sunda, dan Tionghoa. Tak heran, banyak bangunan, termasuk tempat ibadah di sini memiliki sentuhan budaya ketiganya.
Salah satunya Masjid Jami Kalipasir yang berada di Sukasari, Kota Tangerang. Ini merupakan masjid tertua di Kota Tangerang yang telah berusia 445 tahun.
Pantauan SuaraJakarta.id, menara Masjid Kali Pasir Tangerang terlihat menyerupai pagoda. Ditambah kubah kecil di bagian atas berbentuk mirip ornamen khas Tionghoa.
Baca Juga:Jadwal Sholat dan Buka Puasa Kota Tangerang 23 April 2021
Masjid ini memiliki warna krem di dinding luar dengan didominasi warna putih di bagian dalamnya. Begitu memasuki area dalam masjid, tampak empat pilar berdiri kokoh tepat di tengah-tengahnya.
Di sisi barat masjid terlihat puluhan makam. Di lokasi pemakaman tersebut memiliki dua pintu masuk dari sisi utara dan selatan.
Penasihat DKM Masjid Jami Kalipasir, Achmad Sjairodji (71) mengatakan, masjid ini ditetapkan berdiri pada tahun 1576. Namun ia tak tahu siapa yang meresmikan masjid tersebut.
Soal penetapan berdirinya Masjid Jami Kalipasir, kata Sjairodji, ditetapkan seorang ulama di Kota Tangerang sekaligus pemilik pesantren di Periuk, Kota Tangerang, Tobari Ashajili.
"Yang menentukan tahun berdirinya masjid, ulama juga yaitu KH Tobari Ashajili," ujar Sjairodji saat ditemui di Masjid Jami Kali Pasir, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:7 Masjid Unik yang Cocok untuk Wisata Religi
Sjairodji menceritakan bahwa sebenarnya awal mulanya daerah ini difungsikan sebagai tempat ibadah sejak lebih dari 100 tahun sebelumnya, yakni 1412.
Menurut Sjairodji, awalnya wilayah tersebut masih berupa hutan. Lalu datanglah salah satu ulama dari Kerajaan Galuh Kawali, yaitu Ki Tengger Jati, untuk menyiarkan agama Islam.
Di wilayah itulah kemudian, kata Sjairodji, Ki Tengger Jati, membangun sebuah gubuk kecil untuk dijadikan tempat ibadah.
"Amanat dari gurunya, Syekh Subakir. Ki Tengger Jati menjalankan syiar Islam, setelah mendapat ilmu agama. Jadi dia (Ki tengger Jati) meninggalkan kerajaannya menuju ke sini (Masjid Jami Kali Pasir)," jelasnya.
"Tempat ibadah mereka di sini. Kurun waktu semakin diperbesar tempat ibadahnya, sekitar 1416," lanjutnya.
"Karena jamaahnya semakin banyak. Jadi dari situlah ada yang melihat gubuk ini, ada yang singgah dan ada yang menetap di sini. Itu sebabnya masjid ini diperbesar," imbuhnya.
Seiring perjalanan waktu, sekitar tahun 1455, datanglah seorang ulama besar dari Persia singgah di Masjid Jami Kalipasir.
Ulama itu bernama Sayyid Hasan Ali Al-Husaini, atau yang lebih dikenal dengan nama Syekh Abdul Jalil.
"(Sebenarnya) tujuannya bukan ke sini, tapi Banten. Tapi singgah di sini, dengan kedatangan beliau di sini juga, masjid semakin diperbesar," papar Sjairodji.
"Pembangunan itu tinggalkan sejarah yang sampai sekarang masih ada adalah empat tiang penyanggah. Satu diantaranya pemberian Sunan Kalijaga," sambungnya.
Ia menjelaskan empat pilar yang berdiri kokoh di dalam masjid itu sama sekali tidak pernah direvitalisasi.
Meski begitu Sjairodji, tidak mengetahui makna dari empat tiang penyangga tersebut.
Dirinya menceritakan ada salah satu ulama yang mengetuk pilar itu satu per satu menggunakan tangannya.
Ulama tersebut lantas mendengar suara yang berbeda dari salah satu pilar ketika diketuk.
Dia meyakini, suara yang berbeda tersebut lantaran pilar yang dia ketuk adalah pemberian Sunan Kalijaga.
"Yang ini adalah pemberian Sunan Kalijaga," ucap Sjairodji menirukan ucapan ulama tersebut.
Dia menambahkan, sebenarnya tidak ada arti khusus terkait keberadaan empat pilar itu. Jumlah pilar yang ada pun juga tidak merepresentasikan apa pun.
Namun,ada beberapa ulama menafsikan empat pilar tersebut seperti Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
"Ada yang mengartikan ke situ. Silakan menafsirkan ke situ, tapi pilar ini tidak punya makna," ujarnya.
Terkait makam-makam yang ada di sekitaran Masjid Jami Kalipasir, tak hanya para ulama yang dimakamkan, tapi juga umara.
Salah satu tokoh Islam yang dimakamkan di sekitar masjid tersebut adalah Hj. Murtapiah. Beliau, kata Sjairodji, merupakan pendiri pesantren perempuan pertama se-Jawa.
Hj. Murtapiah juga masih keponakan dari ulama besar Indonesia, Syekh Nawawi Al-Bantani. Tak heran banyak peziarah datang ke tempat ini.
"Setiap tahun, banyak pengunjung berziarah. Pas haulnya, pas hari wafatnya," tutupnya.
Kontributor : Muhammad Jehan Nurhakim