SuaraJakarta.id - Daftar Gubernur DKI Jakarta mulai dari Soeworjo hingga Anies Baswedan. Di antara deretan Gubernur Jakarta itu ada nama Joko Widodo atau Jokowi dan Ahok alias Basuki Tjahja Purnama.
Jakarta adalah sebuah wilayah administratif setara provinsi dengan status istimewa sebagai ibu kota Indonesia. Kepala eksekutif Jakarta adalah Gubernur, alih-alih Walikota.
Gubernur Jakarta adalah seorang politikus terpilih yang memegang pemerintahan strategis Jakarta bersama dengan Wakil Gubernur dan 106 anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).
Soewirjo tercatat sebagai penguasa pertama Jakarta, tetapi nama jabatan Gubernur DKI Jakarta pertama diberlakukan semasa Soemarno Sosroatmodjo sampai sekarang.
Baca Juga:Polisi Kembali Amankan 11 Orang Simpatisan Habib Rizieq, Berasal dari Bogor
Sejak kemerdekaan hingga September 1977, Gubernur dipilih dan diperintah langsung oleh Presiden Indonesia. Setelah masa itu, Gubernur dipilih oleh DPRD DKI Jakarta.
Berikut daftar nama gubernur DKI Jakarta:
Soewirjo
Raden Suwiryo lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 17 Februari 1903 – meninggal di Jakarta, 27 Agustus 1967 pada umur 64 tahun. Dia seorang tokoh pergerakan Indonesia.
Ia juga pernah menjadi Wali kota Jakarta dan Ketua Umum PNI. Ia juga pernah menjadi Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Sukiman-Suwiryo.
Baca Juga:4 Aksi Protes Nikita Mirzani Hingga Dinilai Layak Jadi Duta Pemberani
Proses Suwiryo menjabat sebagai wali kota dimulai pada Juli 1945 pada masa pendudukan Jepang. Kala itu dia menjabat sebagai wakil wali kota pertama Jakarta, sedangkan yang menjadi wali kota seorang pembesar Jepang (Tokubetsyu Sityo) dan wakil wali kota kedua adalah Baginda Dahlan Abdullah. Dengan kapasitasnya sebagai wakil wali kota, secara diam-diam Suwiryo melakukan nasionalisasi pemerintahan dan kekuasaan kota.
Sebelum menjadi Wali Kota Jakarta Raya, Sjamsuridjal menjabat Wali Kota Solo dan sebelumnya Wali Kota Bandung. Pada masa awal pemerintahannya, dimulai dibangun stadion nasional IKADA (Ikatan Atletik Djakarta) yang dimulai pada 18 Juli 1950 untuk keperluan Pekan Olahraga Nasional ke-2 (PON II) yang dilaksanakan pada Oktober 1951.
Kebijakan yang cukup terkenal pada masa kepemimpinannya adalah mengenai masalah listrik. Walau begitu, ia juga memberi prioritas pada masalah air minum, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kebijakan atas tanah.
Guna mengatasi masalah listrik yang sering padam, Sjamsuridjal membangun pembangkit listrik di Ancol. Adapun untuk meningkatkan penyediaan air minum, dia membangun penyaringan air di Karet, penambahan pipa, peningkatan suplai air dari Bogor. Di bawah pemerintahan Sjamsuridjal, bidang pendidikan juga mendapat perhatian. Ia mendukung pengembangan Universitas Indonesia.
Soemarno Sosroatmodjo
Pada masa kepemimpinannya, selain dibangun Monas, Patung Selamat Datang, dan Patung Pahlawan di Menteng, juga dibangun rumah minimum. Konsep rumah minimum ini adalah rumah dengan luas 90 meter persegi, dibangun di atas tanah 100 meter persegi, terdiri dari dua lantai, lokasinya dekat dengan tempat kerja. Proyek pertama rumah minimum dibangun di Jalan Raden Saleh, Karang Anyar, Tanjung Priok, dan Bandengan Selatan.
Setelah selesai masa baktinya, Soemarno menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dan jabatan Gubernur Jakarta dilanjutkan oleh Henk Ngantung atas perintah Presiden Soekarno, karena kesehatan Henk Ngantung yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan jabatannya.
Hendrik Joel Hermanus Ngantung
Sebelum diangkat menjadi gubernur, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai deputi gubernur di bawah Soemarno. Saat itu banyak kalangan yang protes atas pengangkatan Henk Ngantung.
Soekarno ingin agar Henk menjadikan Jakarta sebagai kota budaya. Dan, Ngantung dinilainya memiliki bakat artistik. Salah satu pengalaman yang barangkali menarik adalah tatkala presiden memanggilnya ke istana untuk mengatakan bahwa pohon-pohon di tepi jalan yang baru saja dilewati perlu dikurangi. Masalah pengemis yang merusak pemandangan Jakarta tak lepas dari perhatian Ngantung.
Ali Sadikin dilantik secara langsung oleh Presiden Soekarno menjadi Gubernur DKI Jakarta pada Kamis, 28 April 1966 pukul 10.00 di Istana Negara. Pelantikan Ali Sadikin tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1966.
Dalam keputusan tersebut, Ali Sadikin yang juga merupakan anggota staf Waperdam Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan dipandang cakap dan memenuhi syarat-syarat menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Ali Sadikin adalah gubernur yang sangat berjasa dalam mengembangkan Jakarta menjadi sebuah kota metropolitan yang modern. Di bawah kepemimpinannya Jakarta mengalami banyak perubahan karena proyek-proyek pembangunan buah pikiran Bang Ali, seperti Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, kota satelit Pluit di Jakarta Utara, pelestarian budaya Betawi di kawasan Condet.
Bang Ali juga mencetuskan pesta rakyat setiap tahun pada hari jadi kota Jakarta, 22 Juni. Bersamaan dengan itu berbagai aspek budaya Betawi dihidupkan kembali, seperti kerak telor, ondel-ondel, lenong dan topeng Betawi.
Sebelum menjabat gubernur Jakarta, selama satu tahun Tjokropranolo menjadi asisten Gubernur Ali Sadikin. Pada Juli 1977, ia dilantik sebagai Gubernur Jakarta. Selama dia menjabat gubernur, ia sering mengunjungi berbagai pabrik untuk mengecek kesejahteraan buruh dan mendapatkan gagasan langsung tentang upah mereka.
Usaha kecil juga menjadi perhatiannya. Dia mengalokasikan sekitar ratusan tempat untuk puluhan ribu pedagang kecil agar dapat berdagang secara legal.
Walau begitu, kemacetan lalu lintas dan kesemrawutan transportasi kota menjadi masalah yang sulit dipecahkan. Perda yang mengatur pedagang jalanan tidak efektif, sehingga mereka masih berdagang di wilayah terlarang, menempati badan jalan, dan memacetkan lalu lintas.
Kariernya dimulai dari militer yang mengabdi sejak 1945 hingga pada tahun 1982 dia diangkat menjadi Gubernur Jakarta selama satu periode.
Sebelum menjabat sebagai gubernur, ia adalah Sekretaris Jenderal Depdagri. Dengan pengalaman kepemimpinannya, Soeprapto mencoba menangani masalah Jakarta yang kompleks.
Ia memulai kepemimpinannya dengan mengajukan konsep yang pragmatis dan bersih tentang pembangunan Jakarta sebagai ibu kota dan juga wacananya mengenai sebuah kota besar.
Ia menekankan konsepnya dalam wacana stabilitas, keamanan, dan ketertiban. Selain itu Soeprapto juga membuat Master Plan DKI Jakarta untuk periode 1985–2005, yang sekarang dikenal dengan Rencana Umum Tata Ruang dan Rencana Bahagian Wilayah Kota.
Beliau wafat di Jakarta pada hari Sabtu tanggal 26 September 2009 Pukul 01.00 WIB dalam usia 85 tahun. Beliau dimakamkan pada hari yang sama bakda Zuhur di Pemakaman Giritama, Parung, Bogor, Jawa Barat.
Pada masa kepemimpinannya ia secara rutin berkunjung ke berbagai tempat di Jakarta. Ia dikenal sebagai pemimpin yang terbuka dan bersikap disiplin. Di awal kepemimpinannya, dia memutuskan untuk menerapkan konsep BMW: Bersih, Manusiawi, berwibawa di Jakarta.
Ia menerapkan kerja sama pengelolaan sampah antara pemerintah dan swasta. Ia juga menertibkan penyimpangan bangunan.
Bahkan, ia juga pernah memerintahkan membongkar bangunan baru di kompleks pertokoan Tanah Abang karena dianggap tak memiliki izin mendirikan bangunan.
Dia juga berhasil direalisasikan sejumlah program, diantaranya, pembebasan kawasan becak, Swastanisasi kebersihan, pembangunan jalan lingkar luar (outer ring road), perbaikan jalur kereta api, pembangunan dan perluasan jalan arteri, jalan layang dan underpass.
Selain itu, Bang Wi juga yang memindahkan Pekan Raya Jakarta yang semula diselenggarakan di Monas ke Kemayoran. Lalu, memindahkan Terminal Cililitan ke Kampung Rambutan juga pengembalian kelestarian Ciliwung.
Pada masa kepemimpinannya, ia membuat proyek pembangunan rumah susun, menciptakan kawasan hijau, dan juga memperbanyak daerah resapan air.
Adapun proyek kereta api bawah tanah (subway) dan jalan susun tiga (triple decker) yang sempat didengung-dengungkan pada masanya belum terwujud. Ia berhasil membebaskan jalan-jalan Jakarta dari angkutan becak, suatu program yang telah dimulai sejak gubernur sebelumnya (Bang Wi). Selain itu Peristiwa 27 Juli 1996 terjadi pada masa Jakarta di bawah kepemimpinannya.
Selain itu, Soerjadi juga memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan.
Untuk mendukung laju mobilitas penduduk, Jakarta pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pihak swasta membangun sejumlah jalan tol yaitu Tol Dalam Kota, Tol Lingkar Luar, Tol Bandara, serta ruas tol Jakarta-Cikampek, Jakarta-Bogor-Ciawi, dan Jakarta-Merak, yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota di sekitarnya.
Pada 15 Januari 2004, ia meluncurkan sistem angkutan massal dengan nama bus TransJakarta atau lebih populer disebut Busway sebagai bagian dari sebuah sistem transportasi baru kota.
Setelah sukses dengan Koridor I, pengangkutan massal dikembangkan ke koridor-koridor berikutnya. Ia juga mencetuskan mengembangkan sisten transportasi kota modern juga segera melibatkan subway dan monorel.
Keberadaan Busway mulanya ditentang beberapa pihak terutamanya pengguna kendaraan pribadi karena mengurangi satu jalur jalan.
Selain itu, pembangunan halte-halte Busway juga mengakibatkan sebagian pepohonan yang berada di pembatas jalan ditebang.
Di lain pihak, Busway disambut baik penggunanya karena dianggap lebih nyaman dari angkutan umum sejenis lainnya. Bukan hanya sebagai sarana transportasi perkotaan modern untuk angkutan massal, tetapi juga dapat berfungsi sebagai bus pariwisata kota. Busway yang melewati Koridor II menempuh berbagai fasilitas pemerintah pusat terutama sisi barat Kompleks Sekretariat Negara, Jalan MH Thamrin, Monumen Nasional, Kantor Pemerintah DKI Jakarta, bekas Kantor Wakil Presiden Indonesia, Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan Stasiun Gambir.
Fauzi Bowo memulai kariernya dengan mengajar di Fakultas Teknik UI. Ia bekerja sebagai pegawai negeri sejak tahun 1977.
Beberapa posisi yang pernah dijabatnya antara lain adalah sebagai Kepala Biro Protokol dan Hubungan Internasional dan Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta.
Sebagai birokrat, Fauzi telah menempuh Sepadya (1987), Sespanas (1989), dan Lemhannas KSA VIII (2000). Ia adalah wakil gubernur Daerah Khusus Ibu kota Jakarta pada masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso.
Joko Widodo
Jokowi diminta secara pribadi oleh Jusuf Kalla untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pilgub DKI tahun 2012.
Karena merupakan kader PDI Perjuangan, maka Jusuf Kalla meminta dukungan dari Megawati Soekarnoputri, yang awalnya terlihat masih ragu. Sementara itu, Prabowo Subianto dari Partai Gerindra juga melobi PDI Perjuangan agar bersedia mendukung Jokowi sebagai calon gubernur karena membutuhkan 9 kursi lagi untuk bisa mengajukan calon gubernur.
Sebagai wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama yang saat itu menjadi anggota DPR dicalonkan mendampingi Jokowi.
Pasangan ini awalnya tidak diunggulkan. Hal ini terlihat dari klaim calon pertama yang diperkuat oleh Lingkaran Survei Indonesia bahwa pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli akan memenangkan pilkada dalam 1 putaran. Namun hasil pilgub putaran pertama dari KPU memperlihatkan Jokowi memimpin dengan 42,6% suara, sementara Fauzi Bowo di posisi kedua dengan 34,05% suara.
Basuki Tjahja Purnama
Selama kampanye Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014, Jokowi meletakkan posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Untuk mengisi posisi ini, Basuki mengisi posisi Pejabat (Plt) Gubernur hingga akhirnya Jokowi dilantik sebagai Presiden RI, yang mengharuskannya mundur dan Basuki resmi diangkat sebagai Gubernur sesuai Perpu Pilkada No 1 tahun 2014 pada tanggal 14 November 2014.
Pada pemilihan presiden tersebut, walaupun Ahok adalah Plt Gubernur dari Jokowi, namun ia mendukung Prabowo Subianto yang merupakan calon presiden lawan dari Jokowi.
Bahkan, jika Prabowo menang dalam pemilihan tersebut, Ahok dijanjikan akan dijadikan Menteri Dalam Negeri Indonesia agar dia dapat melakukan reformasi anggaran di semua pemerintah daerah yang ada di seluruh Indonesia.
Djarot Saiful Hidayat diangkat oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta pada 9 Mei 2017 setelah Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Basuki Tjahaja Purnama terkait kasus penodaan agama.
Pada 31 Mei 2017, DPRD DKI Jakarta mengumumkan Djarot sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Basuki Tjahaja Purnama yang mengajukan pengunduran diri sebagai Gubernur setelah menjalani proses penahanan dan menyatakan mencabut gugatan banding terkait kasus penodaan agama yang dialaminya.
Djarot Saiful Hidayat akhirnya resmi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Jokowi pada 15 Juni 2017 di Istana Negara.
Anies Baswedan
Anies Baswedan bersama Sandiaga Uno maju ke putaran 2 Pilkada DKI 2017 dengan pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.