SuaraJakarta.id - Wali Kota Tangerang Selatan Benyamin Davnie membatalkan rencana pemakainan nama Pahlawan Nasional Raden Aria Wangsakara sebagai nama jalan di wilayahnya. Hal itu lantaran proses adminitrasi akan memakan waktu yang lama dan proses yang panjang.
Meski begitu, Benyamin punya rencana baru. Dirinya kini berencana akan menjadikan nama Aria Wangsakara sebagai nama salah satu gedung di Pusat Pemerintahan Kota Tangsel.
"Kalau nama jalan itu agak panjang prosedurnya. Harus pemberitahuan ke unit kerja yang lain, panjang lah. Kalau gedung, saya tadi lontarkan di forum rapat ke teman-teman (kepala dinas)," kata Benyamin kepada SuaraJakarta.id, Jumat (12/11/2021).
Bahkan tak hanya Aria Wangsakara, Benyamin juga bakal menggunakan nama tokoh pahlawan lokal lainnya yang disebut ke dalam triraksa. Mereka tokoh pejuang di Tangerang.
Baca Juga:Profil Sultan Iskandar Muda, Pahlawan Nasional Berjasa Menyatukan Tanah Melayu
Menurutnya, akan ada empat gedung di Pusat Pemkot Tangsel yang dinamai dengan nama pahlawan lokal.
Selain Aria Wangsakara, yaitu Aria Yudhanegara, dan Aria Jaya Santika. Sementara itu, satu nama tokoh lain adalah Aria Suta Diwangsa yang merupakan tokoh pejuang di wilayah perbatasan Tangerang, di Bogor.
"Kita namakan gedung Pemkot Tangsel dengan nama Aria Wangsakara, di gedung belakang Aria Yudha Negara, Aria Jaya Santika dan Aria Suta Diwangsa kalau mau. Memang Aria Suta Diwangsa itu perjuangannya bukan di kita (Tangerang), tapi di Bogor, cuma diperbatasan," ungkap Benyamin.
"Mereka pejuang-pejuang yang membentuk Tangsel dan Banten. Balaraja itu dari beliau-beliau juga, Tigaraksa juga, termasuk Tangsel cikal bakalnya dari Tangerang," tambah Benyamin.
Benyamin menuturkan, alasan dirinya bakal menggunakan nama pahlawan sebagai nama gedung di Pemkot Tangsel agar lebih diketahui oleh masyarakat secara luas soal sosok tersebut.
Baca Juga:236 Tahun Pangeran Diponegoro, Pahlawan yang Ikut Berperan Memerdekakan Belgia
"Dengan penamaan gedung itu mudah-mudahan pengenalan pahlawan lokal itu bisa diketahui banyak pihak. Sehingga banyak yang menyebutkan 'Yuk rapat di gedung Aria Wangsakara aja' kayak gitu. Jadi pengenalan nama pahlawan lebih luas dan dikenal ketokohannya. Akhirnya nanti orang pada nyari tahu siapa tokoh perjuangan ini," tuturnya.
Meski begitu, Benyamin belum dapat memastikan rencana penamaan gedung di Pemkot Tangsel menggunakan nama pahlawan tersebut akan direalisasikan. Dirinya masih menunggu kesepakatan dengan para kepala dinas, serta pihak terkait.
"Tadi saya lemparkan ke teman-teman, kalau sudah setuju nanti secepatnya lah berharap ada kesepakatan dari teman-teman. Kalau sudah sepakat kita tinggal bikin nama," ungkapnya.
Diketahui, rencana-rencana yang diungkapkan Wali Kota Tangsel itu muncul usai penetapan Aria Wangsakara sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 10 November 2021.
Raden Aria Wangsakara merupakan salah satu pahlawan sekaligus pendiri Tangerang bersama dua raden lainnya: Raden Aria Jaya Santika dan Raden Aria Yudha Negara.
Mereka juga dikenal sebagai sebutan triraksa. Sebutan itu kini dijadikan sebagai nama kecamatan yakni Tigaraksa di Kabupaten Tangerang.
Tak hanya itu, Aria Wangsakara juga merupakan seorang ulama yang menyebarkan agama Islam di Tangerang. Salah satu masjid peninggalannya berada di Lengkong Ulama, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, dekat dengan pemakamannya.
Keturunan Raja
Aria Wangsakara merupakan keturunan Raja Sumedang Larang Sultan Syarif Abdulrohman, lalu menikah sekaligus menetap dengan istrinya Nyi Mas Nurmala, seorang anak Bupati Karawang Singaprabangsa.
Keduanya, kemudian memiliki pengikut sekira 500 orang yang menjadi cikal bakal warga di Lengkong Ulama saat ini.
Tonggak awal penyebaran Islam di wilayah itu dengan dibangunnya Masjid Jami Al-Muttaqin. Saat pertama kali dibangun, bangunan masjid masih sederhana. Bangunannya didominasi kayu, atapnya menggunakan genteng dan sebagian temboknya hanya memakai bilik anyaman bambu.
Ketua DKM Masjid Jami Al-Muttaqin, H Ahmad Basri mengatakan, masjid tersebut dibangun oleh Raden Aria Wangsakara untuk menyebarkan agama Islam dan mengusir penjajah.
"Masjid ini pertama kali dibangun oleh Raden Aria Wangsakara. Selain jadi tempat persembunyian, juga menjadi tempat penyebaran agama Islam," katanya bercerita.
Masjid tersebut, kata dia, memiliki luas lahan 515 meter dengan luas bangunan 300 meter. Masjid itu pun menjadi saksi perjuangan Raden Aria Wangsakara memimpin pasukan mewakili Kesultanan Banten melakukan perlawanan perebutan wilayah di Tangerang terhadap VOC Belanda.
Dengan semangat perjuangan selama tujuh bulan berturut-turut, perjuangan berhasil dan memukul mundur VOC Belanda.
"Berkat perjuangan beliau mempertahankan wilayah dan menyebarkan agama Islam di sini, akhirnya dulu di kenal sebagai daerah santri. Tapi sekarang udah sedikit pesantrennya," ungkap Basri.
Kakek 71 tahun itu menuturkan, masjid tersebut pernah terancam rata oleh pembangunan yang dilakukan pengembang.
Beruntungnya, rencana itu gagal lantaran wilayah itu dijadikan cagar budaya berupa taman makam pahlawan yang merupakan makam dari Raden Aria Wangsakara. Serta para keluarga dan kiai lainnya yang berdakwah di Pagedangan.
Kebal Peluru
Basri menuturkan, Raden Aria Wangsakara wafat pada 1681 di usia sekitar 66 tahun. Setelah itu, sejumlah tokoh ulama berdatangan untuk melanjutkan menyebarkan agama Islam di Lengkong Kiyai.
Sejumlah tokoh yang dia ingat yakni Syeikh Mustaqim, Mohammad Natsir, dam Syeikh Azhari. Salah satu diantaranya bahkan sempat berperang melawan VOC Belanda hingga ditembaki. Tetapi, pelurunya tak tembus.
"Waktu penyerbuan Belanda ke sini pada sembunyi. Ada yang ditembak-tembak tapi nggak luka. Kebal. Bekas penembakan ada di tembok masjid, tetapi sayang sekarang sudah tidak ada setelah direnovasi," paparnya.
Saat ini, masjid tersebut memiliki dua lantai dan digunakan warga di tiga RT. Warna masjid didominasi warna cokelat muda dan cream. Ada kubah besar di atasnya dan satu menara tinggi sekira 22 meter.
Saat Ramadhan, masjid itu ramai dengan berbagai kegiatan seperti tadarus, Nuzulul Quran, dan pengajian sore serta buka bersama.
Kontributor : Wivy Hikmatullah