Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Rabu, 21 Oktober 2020 | 14:05 WIB
Sejumlah massa dari berbagi elemen masyarakat melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraJakarta.id - Ombudsman Jakarta menilai polisi melakukan maladministrasi dengan mengacam tidak memberikan SKCK ke anak STM pendemo UU Cipta Kerja. Sebab itu melampauai kewenangan polisi.

Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya menemukan dugaan maladministrasi dilakukan oleh Polda Metro Jaya dalam penanganan pascademonstrasi terkait penolakan UU Cipta Kerja.

Polisi dinilai tidak memberikan akses kepada penasehat hukum kepada pelajar yang ikut demo.

Sejak 8 Oktober 2020 Ombudsman Perwakilan Jakarta telah melakukan pemantauan di Polda Metro Jaya.

Baca Juga: Ancam Tak Keluarkan SKCK Pelajar yang Ikut Demo, Polisi Disorot Ombudsman

Hingga kini proses pemantauan masih berjalan.

Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

"Ada dua dugaan, tidak memberikan akses kepada penasehat hukum dan melampaui kewenangan ketika tidak akan memberikan SKCK kepada pelajar yang ikut demo," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (21/10/2020).

Secara umum ada beberapa temuan Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya terkait penanganan pascademo oleh Polda Metro Jaya.

Pertama, terkait penanganan para demonstran, Polda langsung memisahkan antara yang "diamankan" untuk kemudian dipulangkan kembali ke orang tuanya dengan yang dilanjutkan ke proses penyelidikan.

Kedua, adanya proses pencegahan penularan COVID-19 terhadap para peserta demo, baik yang diamankan maupun yang diselidiki dengan melakukan tes cepat.

Baca Juga: Ombudsman Temukan Maladministrasi Polisi Pasca Demo Ricuh UU Cipta Kerja

Ketiga, tidak terjadi tindak kekerasan selama proses pengamanan dan penyelidikan di Polda Metro Jaya.

Lalu keempat, pemberian konsumsi bagi para peserta demonstrasi diberikan dalam jangka waktu yang baik dengan kualitas yang baik.

Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

"Namun kami juga menemukan bahwa Polda Metro Jaya tidak memberikan akses bagi para pendamping atau penasehat hukum terhadap 43 orang yang diselidiki, walaupun mendapatkan pendampingan hukum dari penasehat yang disediakan oleh PMJ (Polda Metro Jaya)," kata Teguh.

Menurut Teguh, seharusnya para tersangka memiliki keleluasaan untuk memilih pengacaranya sendiri dan untuk itu perlu dibuka akses kepada para pengacara atau kelompok masyarakat sipil lain untuk melakukan pendampingan.

"Keterbukaan ini juga menjadi penting karena para tersangka diduga merupakan pihak-pihak yang dianggap merusak fasilitas publik dan ditengarai dibiayai oleh pihak-pihak tertentu," ujarnya.

Menurut dia, dengan membuka pengawasan terhadap proses penyelidikan ke masyarakat, Polri dalam hal ini Polda Metro Jaya (PMJ) bisa menyampaikan seluruh proses pemeriksaannya secara transparan dan akuntabel.

Dengan keterbukaan ini, lanjut Teguh, dapat diketahui apakah benar, ada pihak ketiga yang membiayai, atau ini emosi massa di lapangan, atau massa yang terorganisir dengan tujuan tertentu.

"Ini untuk mengikis praduga-praduga yang berkembang di masyarakat dengan transparansi proses tersebut," kata Teguh.

Mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) membakar ban saat melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Selain itu, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya juga menyayangkan adanya tindakan kepolisian di bawah koordinasi Polda Metro Jaya yang mengancam akan mempersulit dikeluarkannya surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) kepada para pelajar yang melakukan aksi demonstrasi UU Cipta Kerja.

Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah menetapkan sebanyak 131 tersangka dalam ricuh unjuk rasa pada 8 Oktober dan 2020 dan 13 Oktober 2020, dari 131 orang tersebut sebanyak 69 telah ditahan.

Dari 69 orang yang ditahan tersebut, Polda Metro Jaya telah menetapkan 20 orang sebagai tersangka dalam kasus perusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas umum seperti halte TransJakarta dalam ricuh unjuk rasa menolak Omnibus Law di Jakarta beberapa waktu lalu.

Adapun pasal yang dipersangkakan, terhadap 131 tersangka itu, yakni Pasal 212 KUHP tentang perlawanan terhadap petugas, Pasal 218 KUHP tentang melanggar aturan tidak berkerumun, Pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap orang dan barang dan Pasal 406 KUHP tentang perusakan. (Antara)

Load More