Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah
Selasa, 29 Maret 2022 | 20:07 WIB
Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin dalam apel pemberangkatan tim penanggulangan bencana erupsi Gunung Semeru, Senin (6/12/2021). [Dok. PPID Jakarta]

SuaraJakarta.id - Kasatpol PP DKI Jakarta Arifin mengemukan bahwa anak buahnya kerap menalangi sanksi denda bagi pelanggar Perda Nomor 8 Tahun 2007 yang tidak mampu membayar.

"Jadi sungguh sangat aneh ketika kami menegakkan perda, memberikan efek jera, kepada masyarakat ternyata yang bayar anggota (Satpol PP) juga," kata Arifin pada forum revisi perda, Selasa (29/3/2022).

Pasalnya, lanjut dia, kendala itu terjadi justru karena terganjal Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum.

Namun, Arifin tidak membeberkan berapa nominal dana yang sudah ditalangi para anak buahnya untuk membayar denda pelanggar Perda yang tidak mampu itu.

Baca Juga: Awasi Tempat Orang Mabuk-mabukan hingga Prostitusi, Satpol PP DKI Bakal Getol Patroli Selama Ramadan

Dia menjelaskan ketika menegakkan perda, maka pelanggar akan menjalani Sidang Tindak Pidana Ringan (Tipiring).

Dalam Perda itu disebutkan bahwa sanksi pelanggar adalah pidana denda dengan ketentuan minimum dan maksimum bahkan pidana kurungan.

Namun, praktik di lapangan ternyata menemui kendala karena ketika pengadilan memutuskan pidana denda misalnya Rp 500 ribu, pelanggar tersebut tidak mampu membayar.

Ketika akan menyita barang, lanjut dia, tidak masuk kriteria atau belum sesuai dengan nilai denda.

Begitu juga apabila dikenakan sanksi kurungan, kata dia, mereka tidak bisa ditahan di lembaga pemasyarakatan (lapas) karena hanya menerima pelanggaran tindak pidana umum bukan pelanggaran perda.

Baca Juga: Anggaran Satpol PP DKI Naik Capai Rp516 Miliar, Legislator Bambang: Heran, Kok Tambahannya Lebih Besar Dari Pokok

Untuk itu, ia memiliki gagasan apabila tidak bisa diterima di lapas, maka pelanggar perda dapat dititipkan di panti sosial yang perlu dimasukkan dalam klausul perda hasil revisi.

"Apakah kemudian kami bisa memasukkan dalam klausul pasal itu menitipkan melalui panti sosial kami misalnya dalam waktu sekian hari, sehingga mungkin itu bisa diterima dalam bentuk pembinaan di panti," ucapnya.

Untuk itu, pihaknya mengusulkan untuk dilakukan revisi terhadap Perda Nomor 8 tahun 2007 tersebut karena dinilai sudah tidak relevan lagi.

Tak hanya soal sanksi, lanjut dia, beberapa aturan di perda itu juga diusulkan perlu direvisi di antaranya terkait pasal 25 ayat 1 yang memberikan kewenangan kepada gubernur menetapkan bagian trotoar untuk pedagang kaki lima.

"Ternyata ada putusan Mahkamah Agung yang menganulir dan kemudian mencabut bunyi putusan itu yang harusnya itu tidak bisa digunakan lagi," ucapnya.

Kemudian, lanjut dia, aturan lain yang diusulkan untuk direvisi adalah soal aturan lalu lintas "Three in One" yang saat ini sudah tidak berlaku namun menjadi ganjil genap.

"Ini mau tidak mau harus kami ubah," ucapnya.

Sementara itu, terkait usulan revisi perda itu, saat ini pihaknya masih menyusun dalam bentuk naskah akademik dengan mendengarkan masukan dari sejumlah pihak dan tokoh masyarakat.

"Setelah ini dibuatkan draft atau rancangan perda. Kalau sudah siap, kami sampaikan ke Bapemperda (Badan Pembentukan Perda) untuk dibahas," ucapnya. [Antara]

Load More