Fabiola Febrinastri | Restu Fadilah
Kamis, 15 Desember 2022 | 14:59 WIB
Sosialisasi KUHP. (Dok: Kominfo)

Pujiyono juga mengatakan bahwa pembaharuan KUHP menggunakan model kodifikasi terbuka terbatas. Menurutnya, kodifikasi adalah penyusunan bahan hukum secara lengkap dan sistematis di dalam suatu kitab undang-undang. Harapannya, ketika disusun secara lengkap dan sistematis, di luar KUHP tidak ada lagi delik-delik yang muncul berkaitan dengan tindak pidana.

“Tetapi kemudian kita menyadari bahwa melakukan suatu kodifikasi yang tertutup itu tidak mungkin, maka kodifikasi yang kita lakukan adalah kodifikasi yang terbuka. Artinya, ketentuan Pasal 103 di dalam KUHP yang baru dalam Pasal 187 itu memberi ruang. Meskipun sedemikian rupa sudah dimasukkan di dalam KUHP yang baru tapi masih dimungkinkan perkembangan-perkembangan untuk mengakomodir perkembangan baru yang dimungkinkan untuk berkembang di luar KUHP,” jelasnya.

Pada sesi selanjutnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Ketua MAHUPIKI, Yenti Ganarsih mengatakan bahwa rekodifikasi penting. Karena, ada pertanyaan-pertanyaan tentang KUHP Baru, mengenai masih banyaknya pasal-pasal yang ada di dalam KUHP lama.

“Memang kita tidak mengubah semuanya, karena dalam KUHP yang lama pun substansi perbuatan-perbuatan yang harus dijadikan tindak pidana adalah mala per se, yang memang di seluruh dunia hampir semuanya dilarang, yaitu hal-hal yang dilarang oleh kitab-kitab suci agama samawi dan kitab-kitab pedoman manusia hidup di dunia,” jelas Yenti.

Baca Juga: Baru Terungkap! Ada Mimpi dan Ambius Perancang KUHP untuk Segera Disahkan

Ia juga mengatakan, RKUHP yang telah menjadi KUHP berangkat dari ide dasar kebaikan, yaitu perlindungan manusia terutama manusia Indonesia, dan ide perlindungan penghargaan terhadap HAM. Selain itu, hukum pidana melindungi kepentingan nasional, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu.

“Kita nanti akan hati-hati juga melihat supaya tidak ada KUHP itu ingin masuk ke ruang-ruang privat dengan sedemikian rupa. Tetapi kalau hal-hal yang masuk kepada ruang privat pasti ada konteks-konteks apakah itu sebagai konteks kesusilaan yang bisa diatur oleh bangsa itu sendiri, sebagai hal-hal yang di dalam konvensi-konvensi biasanya dikatakan bukan sebagai keharusan, tetapi untuk menghormati kedaulatan negara-negara. Hal-hal seperti ini yang nampaknya menjadi perbincangan sekarang,” jelasnya.

Yenti mencontohkan dengan pasal yang berkaitan dengan perzinahan dan kohabitasi, di mana pasal tersebut dikatakan terlalu masuk ke ruang privat dan seolah-olah semua orang nanti akan terkena pasal tersebut.

“Sebetulnya sekarang ini pun pasal perzinahan yang kita implementasikan itu sudah ada di dalam KUHP lama di Pasal 284, bikinan pemerintahan kolonial pada waktu itu, dan pasal itu dijalankan, tetapi kan jarang sekali yang terkena pasal tersebut. Tetapi secara moral, secara living law, secara sudut pandang bangsa Indonesia yang ber-Pancasila, kita tidak mungkin melepaskan itu. Demikian juga dengan kohabitasi,” ujarnya.

Keunggulan KUHP yang baru menurut Yenti adalah adanya Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan, di mana keunggulan ini akan menjawab bahwa hukum pidana tidak lagi tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Baca Juga: Daftar 84 STB dari Kominfo untuk TV Digital, Dijamin Aman dari Kebakaran

“Nanti kita akan melihat bagaimana hakim patuh pada Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan. Bagaimana memaknainya, juga untuk mengurangi masalah pemidanaan yang sangat berbeda jauh untuk kasus-kasus yang sama ataupun hampir sama, tanpa mengurangi kebebasan hakim dengan diaturnya Tujuan Pemidanaan dan Pedoman Pemidanaan. Ini mestinya bisa terkoreksi,” ungkap Yenti.

Sosialisasi  KUHP yang berlangsung secara hybrid dengan menghadirkan 110 Penyuluh Informasi Publik (PIP) wilayah Indonesia Barat, dan 110 Penyuluh Informasi Publik (PIP) wilayah Indonesia Timur. Materi sosialisasi yang diterima oleh PIP diharapkan mampu diteruskan ke masyarakat terkait penyesuaian KUHP yang baru, guna mencegah penyebaran hoaks.

Load More