Rully Fauzi
Jum'at, 26 September 2025 | 06:10 WIB
Tenggara Strategics melakukan diseminasi penelitian mengenai transaksi digital pada diskusi publik yang dihadiri peneliti Tenggara Strategics Galby R. Samhudi sebagai, CEO QM Financial Ligwina Hananto, Direktur Eksekutif Tenggara Strategics Riyadi Suparno, Managing Director Vosfoyer Creative Consultant William Sudhana, dan Dosen Universitas Prasetiya Mulya Arfan Wiraguna. [dok.Tenggara Strategics]
Baca 10 detik
  • Pemerintah merevisi PP No. 71/2019 (turunan UU ITE) dengan fokus pada tanda tangan elektronik tersertifikasi (TTET)

  • Praktisi menilai TTET berpotensi menambah biaya dan menghambat transaksi digital, khususnya UMKM

  • Literasi digital, perlindungan data pribadi, dan keamanan berlapis perlu jadi prioritas

SuaraJakarta.id - Sebagai bagian dari rencana pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE), Tenggara Strategics berinisiatif membuat sebuah kajian kebijakan yang turut berkontribusi pada revisi PP PSTE.

Kajian tersebut dipublikasikan pada sebuah diskusi publik yang bertema "Transaksi Digital: Anti Ribet, Anti Worry".

Kegiatan yang digelar di JS Luwansa Hotel & Convention Center, Kamis (25/9/2025) ini dihadiri sejumlah praktisi keuangan, antara lain CEO QM Financial Ligwina Hananto dan pendiri sekaligus Managing Director Vosfoyer Creative Consultant William Sudhana.

Revisi PP No. 71/2019 merupakan peraturan teknis turunan dari UU No. 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang pada revisi terbarunya mengatur tanda tangan elektronik yang tersertifikasi (TTET), yang pada Pasal 17 Ayat 2a yang secara eksplisit memberikan dasar hukum Sertifikat Elektronik pada Transaksi Elektronik yang memiliki risiko tinggi.

Pada bagian penjelasan, Transaksi Elektronik yang memiliki risiko tinggi didefinisikan sebagai "transaksi keuangan yang tidak dilakukan dengan tatap muka secara fisik."

Implementasi penggunaan TTET dinilai kurang mengakomodasi prinsip netralitas teknologi (technology neutrality) yang memberi ruang bagi pelaku usaha untuk memilih dan mengembangkan mekanisme pengamanan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Rencana penerapan TTET tersebut berpotensi menimbulkan sejumlah tantangan, seperti potensi bertambahnya beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat maupun pelaku usaha, terutama mereka yang kerap melakukan transaksi digital dalam kegiatan sehari-hari.

Acara ini menghadirkan beberapa penanggap atas riset Tenggara Strategics yang mewakili masyarakat, yakni salah satunya adalah Ligwina Hananto.

Sebagai praktisi literasi keuangan, ia banyak bercerita mengenai membangun awareness masyarakat terkait risiko produk keuangan.

Ligwina Hananto memberikan pandangan mengenai digitalisasi sebagai "doping" inklusi keuangan, salah satunya bagaimana saat ini UMKM dapat memanfaatkan QRIS untuk memudahkan pembayaran dari konsumen.

Menanggapi dinamika turunan UU ITE terkait TTET, ia berseloroh, "Aku berpikir masa iya mamang-mamang gorengan langgananku di Cihapit harus pakai sertifikat tanda tangan elektronik?'"

Selanjutnya, William Sudhana selaku founder dan managing director vosFoyer banyak memberikan paparan terkait bagaimana mudahnya melakukan pembayaran digital pada saat ini.

Ia berpendapat bahwa kemudahan tersebut jangan sampai terhalang oleh suatu kebijakan yang dapat membuat masyarakat jadi sulit untuk melakukan pembayaran digital.

William pun melontarkan komentar senada dengan Ligwina, "Operational cost bisnis dan inovasi akan terpapar, terutama transaksi kecil. Itu akan memperlambat pertumbuhan ekonomi digital kita."

Selain itu, ada juga Ogissa Piertina Susilo, Manajer Deputi Direktur Pelaksanaan Edukasi Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang turut memberikan tanggapan bahwa literasi digital menjadi sangat penting di tengah beragam modus scam dan phishing yang memanfaatkan keadaan psikologis calon korban.

Load More