10 Tahun Erupsi Merapi: Kisah Wawan, Wartawan Terdekat dengan Mbah Maridjan

Wawan meninggal bersama Mbah Maridjan dan seorang anggota PMI bernama Tutur di depan rumah Mbah Maridjan.

Rizki Nurmansyah | Mutiara Rizka Maulina
Kamis, 05 November 2020 | 12:53 WIB
10 Tahun Erupsi Merapi: Kisah Wawan, Wartawan Terdekat dengan Mbah Maridjan
Foto berpigura Yuniawan Wahyu Nugroho, wartawan Vivanews korban erupsi Merapi 2010 - (Suara.com/Yulita Futty)

Sekitar jam 09.00 WIB itu saya bawa pulang pakai ambulans dari Angkatan Udara, jadi cepet. Itu hari Rabu, terus dimakamkannya Kamis.

Endah Sapta Ningsih, istri Yuniawan Wahyu Nugroho, wartawan Vivanews korban erupsi Merapi 2010, menunjukkan foto makam suami. - (Suara.com/Yulita Futty)
Endah Sapta Ningsih, istri Yuniawan Wahyu Nugroho, wartawan Vivanews korban erupsi Merapi 2010, menunjukkan foto makam suami. - (Suara.com/Yulita Futty)

Sebelum insiden terjadi, apa kabar terakhir yang Ibu dapat dari suami?

Suami saya itu kebiasaan kalau liputan selalu bilang, "nanti kalau sudah selesai saya telepon." Jadi waktu itu dia telepon, "saya itu keluar kantor sekitar pukul 13:30 WIB" kalau enggak salah, kemudian landing jam 16.00 WIB itu, terus dia bilang mau ketemu orang di Kentungan. Sudah itu terakhir komunikasi. Enggak kontak saya lagi, dan ada beritanya itu jam 17:00 WIB.

Katanya sudah naik, terus denger suara gemuruh gitu terus turun, istilahnya bawa pengungsi. Anaknya atau cucunya Mbah Maridjan itu saya enggak tahu. Pas turun dia lihat ada mobil nganggur, di dalamnya ada Pak Tutur yang dari PMI, terus diajak naik mau. Jadi pas di depan rumah Mbah Maridjan itu ya sudah. Katanya posisi mobil masih menyala, pintu sudah terbuka semua, sudah siap turun, tapi itu, ya pas ada wedus gembel.

Baca Juga:Kisah Istri Wartawan Korban Merapi: Anak yang Kecil Dekat dengan Ayahnya

Jadi pas saya dikasih rekamannya ini, ada suara "Wan itu ada suara sirene," terus dia jawab, "iya ini baru mau turun." Mau turun, terus suami saya teriak "panas panas" gitu, sudah, terus ilang, sudah enggak ada. Posisinya memang di depan rumah Mbah Maridjan.

Apa yang Ibu ingat tentang yang Ibu rasakan ketika mengetahui kondisi suami seperti itu?

Jujur sih biasa saja, karena saya enggak pernah selalu berdua walaupun dia pacaran sama saya lama ya, delapan tahun, sejak kelas dua SMA. Setiap kali pulang, dia pergi melangkah gitu, begitu keluar berarti saya harus merelakan dia. Mungkin karena waktu saya tidak pernah selalu berdua ya, tapi kehilangan iya jelas. Cuma kalau lihat di rumah ada meja kerjanya dia, itu kok, "sek duwe wes ora bali meneh [yang punya enggak kembali lagi]".

Hari pertama enggak sih karena masih banyak orang. Setelah seminggu itu ya baru kerasa. Sampai waktu mau dimakamkan itu kan anak saya yang kecil itu mau ikut nyemplung. Nah di situ yang membuat saya ambyar, ini saya nangis. Saya bilang sama anak saya yang besar ini, saya bisa. Terus anak saya yang besar cuma bilang, "bisa bu." Ya sudah ya jadi gitu, kerasa kehilangan setelah seminggu, rasanya enggak enak saja. Biasanya pulang, ini kan enggak.

Endah Sapta Ningsih, istri Yuniawan Wahyu Nugroho, wartawan Vivanews korban erupsi Merapi 2010 - (Suara.com/Yulita Futty)
Endah Sapta Ningsih, istri Yuniawan Wahyu Nugroho, wartawan Vivanews korban erupsi Merapi 2010 - (Suara.com/Yulita Futty)

Setelah suami tidak ada, bagaimana ibu dan keluarga menjalani hidup?

Baca Juga:Kisah Wawan, Wartawan Korban Merapi yang Dekat Mbah Maridjan

Biasa saja sih, saya gak mau berlama-lama di rumah. Setelah selesai, saya kembali dengan kesibukan saya. Kalau terlalu lama di rumah juga kan saya nglangut [terhanyut dalam suasana sedih], jadi saya langsung lanjutkan kegiatan saya. Saya juga dapat beasiswa untuk anak-anak saya setiap bulan selama lima tahun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini