SuaraJakarta.id - Kopro Banjir, jadi sejarah penanganan banjir Jakarta. Jakarta banjir sejak era kolonial, sehingga Belanda desain Jakarta seperti di Amsterdam. Di era 60-an, proyek penanggulangan banjir Jakarta digagas besar-besaran.
Kopro banjir mengacu konsep H van Breen. Hanya saja akibat menjamurnya permukiman di bagian timur dan selatan Jakarta yang ada di luar area banjir kanal, Jakarta kembali menghadapi ancaman banjir yang serius.
Seperti dilansir Encyclopedia Jakarta, hanya saja kala itu Jakarta keterbatasan dana untuk menganggulangi banjir. akhirnya Pemerintah pusat pun turun tangan.
Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1965, 11 Februari 1965 dibentuk "Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta", disingkat "Kopro Banjir", sebagai badan yang khusus menangani masalah banjir di Jakarta.
Baca Juga:Puluhan Pejabat Dinkes Provinsi Banten Mengundurkan Diri: Kami Bekerja Penuh Ketakutan
Dalam mengatasi banjir, strategi Kopro Banjir pada prinsipnya hanya mengembangkan konsep yang disusun H van Breen dan kawan-kawan.
Namun, implementasinya terpaksa disesuaikan dengan Pola Induk Tata Pengairan DKI Jakarta yang sudah ada saat itu.
Dalam pelaksanaannya, Kopro Banjir cenderung mengedepankan sistern polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompa. Hasil kerja dari Kopro Banjir itu antara lain Pembangunan Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol.
Selain itu dilakukan rehabilitasi terhadap sungai-sungai di sekitar pembangunan Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Seria Budi Barat, dan Polder Setia Budi Timur. Lainnya pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pe· sanggrahan, dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.
Modifikasi Master Plan 1981. Ketika Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta, Pemda DKI Jakarta menyusun Rencana Induk Jakarta tahun 1966-1988. Salah satu bagian penting dari rencana induk itu adalah Rencana Tata Ruang Kota Jakarta.
Baca Juga:11 Kisah Tragis Kebakaran Pasar Senen dari 1974 sampai 2021
Rencana Tata Ruang Kota ini lalu dijadikan acuan dalam penyusunan Master Plan Pengendalian Banjir yang disahkan tahun 1973 (karenanya disebut Master Plan 1973).
Dalam master plan ini, sistem yang dianut lebih bersifat pengembangan konsep Herman van Breen yang disesuaikan dengan kondisi fisik Jakarta yang telah banyak berubah dan rencana pengembangannya ke depan.
Oleh karena itu, rencana pembangunan saluran kolektor jadi prioritas dalam Master Plan 1973, sebagaimana tercermin pada langkah-Iangkah memperpanjang Saluran Kolektor yang sudah ada ke arah Barat, yang kini dikenal sebagai "Cengkareng Drain". Lalu membangun Saluran Kolektor di bagian Tirnur yang kemudian dikenal sebagai "Cakung Drain", untuk menampung aliran air dari Kali Sunter, Buaran, Cakung, dan Jati Kramat. Dengan adanya tambahan saluran kolektor, maka Jakarta merniliki riga "banjir kanal", masing-masing di bagian Timur, Tengah, dan Barat kota.
Sayang langkah-langkah itu belum juga mampu mengatasi ancaman banjir rutin setiap tahun. Bahkan intensitas ancamannya cenderung meningkat, setidaknya terlihat pada perkembangan luas area genangan di musim hujan. Karena itu, setelah melewatiproses evaluasi, Master Plan 1973 akhirnya dimodifikasi.
Sebab harus menyesuaikan dengan perkembangan kota, pelaksanaannya pun sering menghadapi kendala tingginya biaya pembebasan tanah. Konsep hasil modifikasi itu lalu dikenal sebagai "Modifikasi Master Plan 1981". Hal-hal pokok dalam konsep modifikasi ini antara lain Banjir kanal yang ada tetap menarnpung aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, dan bermuara di Muara Angke. Lalu pompa Cideng digunakan untuk menarnpung air Kali Cideng Bawah.