SuaraJakarta.id - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut protes sejumlah pekerja yang meminta Upah Minimum Provinsi (UMP) naik menjadi 10 persen pada 2022 akan ditindaklanjuti.
Riza mengatakan, harapan para pekerja boleh-boleh saja dilakukan, namun tetap harus realistis dengan berbagai macam pertimbangan pembentuk standar UMP.
"Itu kan harapan, harapan boleh, keinginan boleh, tapi semua kan harus realistis dilihat situasi dan kondisi yang ada," kata Riza di Balai Kota, Rabu (10/11/2021).
Dia menyebut diskusi pembentukan standar UMP antara Pemprov dengan para pengusaha akan terus berlangsung agar semua pihak mendapatkan kesepakatan yang sama.
Baca Juga:Soal Kenaikan UMP, Wagub DKI ke Buruh: Demo Boleh, Tapi Sebaiknya Kita Berdialog
"Sebenarnya bukan cuma buruh. kami juga Pemprov, pengusaha juga ingin ada peningkatan. karena kalau ada peningkatan itu berarti kan usahanya makin baik, pemerintah makin baik," ucapnya.
Sebelumnya, buruh yang tergabung dalam FSP LEM SPSI melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan Upah Minimum Tahun 2022 di depan Gedung Balai Kota di Jalan Merdeka Selatan, serta kawasan Bundaran Patung Kuda di Jalan Medan Merdeka Barat.
Ada empat tuntutan yang disampaikan para buruh kepada pemerintah.
"Kami dari KSPI dan ASPEK, melaksanakan aksi unjuk rasa di seluruh provinsi kota dan kabupaten. Tuntutan kami kepada Pemerintah salah satunya menetapkan UMP Tahun 2022 sebesar 10 persen," kata Presiden ASPEK Mirah Sumirat di depan Gedung Balai Kota Jakarta, Rabu (10/11/2021).
Mirah menjelaskan salah satu tuntutan buruh, yakni meminta Pemerintah Daerah untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 sebesar 10 persen.
Baca Juga:Wahidin Halim Pastikan Penetapan UMP dan UMK Sesuai Regulasi: Tidak Bisa Bergeser
Selain itu, buruh juga mendesak pemerintah memberlakukan upah minimum sektoral, yaitu UMSK 2021 dan UMSK 2022.
Ketiga, pemerintah diminta membatalkan atau mencabut Undang-Undang Cipta Kerja yang dalam waktu satu atau dua minggu ke depan akan diputuskan uji formil di sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam tuntutannya, buruh meminta pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan.
Keempat, buruh meminta perjanjian kerja bersama (PKB) dilaksanakan tanpa ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja.