SuaraJakarta.id - Polres Metro Jakarta Barat meringkus 6 pelaku investasi fiktif alat kesehatan. Keenamnya berinisial YF (37), YD (41), NH (33), REP (41), SA (43) dan AS (31). Mereka memiliki peran yang berbeda-beda.
Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Pasma Royce mengatakan, guna meyakinkan para korban, pelaku mencatut nama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
"Faktanya bahwa proyek tersebut fiktif dan tidak pernah terdaftar sebagai distributor alkes dari Kemenkes RI," katanya di Polres Metro Jakarta Barat, Rabu (8/6/2022).
Pasma menjelaskan, pelaku beinisial YF berperan sebagai marketing. Dalam perannya, ia memasarkan iklan tentang investasi pengadaan alat kesehatan untuk beberapa proyek rumah sakit dan pemerintah di sosial media seperti Whatsapp dan Instagram pada September 2021.
Baca Juga:Polres Jakbar Ringkus Komplotan Investasi Bodong Alat Kesehatan
Untuk menarik minat para korban, pelaku memberikan iming-iming profit yang cukup besar yakni 20 persen.
Kemudian REP, yang berstatus sebagai Direktur di PT RBS, mengatakan kepada YF jika sedang ada proyek pengadaan di BNPB. PT RBS sendiri berlokasi di Apartemen City Park, Kapuk Cengkareng, Jakarta Barat.
"Atas informasi yang diterima dari RBS, kemudian YF menyampaikan kepada korban (para investor) bahwa pengadaan alkes sedang berjalan di BNPB," kata Pasma.
Kemudian, REP bersama AS yang merupakan Ditektur PT SM, menyepakati tentang keuntungan atau profit yakni sebesar 20 persen untuk para investor atau korban.
Pada bulan pertama, pembagian profit berjalan lancar. Hanya saja, kesepakatan yang dinyatakan 20 persen hanya dibagikan 10 persen.
Baca Juga:Intensif Dana Impor Alkes COVID-19 Diperpanjang Hingga Juni 2022
"Awalnya investasi tersebut berjalan normal, namun korban (investor yang dijaring YF), hanya diberikan profit sebesar 10 persen," jelas Pasma.
Para korban, kata Pasma, tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Korban saat itu berpikiran, terpenting investasi yang sedang ia jalani berjalan lancar meski profit tidak sesuai dengan perjanjian awal.
Namun, berselang 2 bulan atau pada Desember 2021. Tidak lagi ada pembagian profit atau pengembalian modal kepada para korban. Hal tersebut yang membuat para korban merasakan ada kejanggalan.
Para korban pun melaporkan hal tersebut pada pihak kepolisian. Atas dasar laporan itu, pihak kepolisian kemudian berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan mendapati informasi bahwa investasi PT RBS tersebut tidak berizin dan tidak terdaftar.
Selain tidak terdaftar, para tersangka juga dipastikan tidak memiliki izin sebagai penyalur atau distributor alat kesehatan di Direktorat Produksi dan Distribusi alkes pada Kemenkes RI.
Pasma menyebut, total ada 37 orang menjadi korban investasi fiktif ini yang melapor ke Polres Metro Jakarta Barat. Dengan total kerugian sebesar Rp 22 miliar.
Tidak sampai di situ, ternyata nominal kerugian semakin membengkak. Lantaran korban tidak hanya berasal dari wilayah Jakarta Barat.
Para korban di wilayah lain telah membuat laporan di Polda Metro Jaya dan Polres Depok.
"Kalau dengan kerugian yang ada di kita (Polres Jakarta Barat) Rp 22 miliar di tambah Rp 43 miliar, jadi total Rp 65 Miliiar," ungkap Pasma.
Dari tangan para tersangka, petugas menyita beberapa barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 452 juta, 8 unit handphone, satu unit laptop, satu unit sepeda motor, 2 set tas mewah, 5 surat pembelian emas senilai Rp 20 juta, 10 buku tabungan, 10 kartu ATM, 4 token Bank dan satu sertifikat apartemen.
Guna mempertanggungjawabkan perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 378 KUHP dan 372 KUHP tentang Penipuan dan Penggelapan dengan ancaman hukuman pidana paling lama 4 tahun penjara.
Kontributor : Faqih Fathurrahman