SuaraJakarta.id - Institut Studi Transportasi (INSTRAN) mengungkapkan adanya keluhan pengguna KRL menyusul pelaksanaan Switch Over (SO) ke-5 di Stasiun Manggarai oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, PT Kereta Api Indonesia. Penerapan rute baru KRL ini sudah berlangsung sekitar seminggu dari 30 Mei hingga 6 Juni 2022.
Direktur Eksekutif INSTRAN, Deddy Herlambang mengatakan, sebelumnya pengguna KRL dari Bogor/Depok tanpa harus transit ketika melakukan perjalanan menuju Stasiun Sudirman dan Tanah Abang, namun kini harus transit di Manggarai.
Proses transit di Stasiun Manggarai, kata Deddy, juga memberatkan difabel, manula, ibu hamil, anak-anak hingga orang yang membawa barang berat.
"Keluhan pengguna transit di Manggarai karena naik turun dari lantai 1 ke 3 dan sebaliknya dan akses transit hanya ada tangga manual dan escalator yang sempit. Sehingga sangat tidak nyaman untuk proses transit yang membutuhkan waktu cepat dalam transit 5-7 menit untuk mengejar KRL lintas yang lain. Proses transit tersebut menambah derita bagi difabel (disabilitas), manula, ibu hamil, anak-anak dan orang dengan bawaan berat," ujar Deddy saat dikonfirmasi Suara.com, Rabu (8/6/2022).
Baca Juga:Stasiun Manggarai Kini Padat, Pemprov DKI Bakal Bahas Pembebasan Lahan dengan Pusat
Deddy memaparkan dalam catatan KCI terjadi jumlah pengguna transit di Manggarai sebanyak 120.000 per hari (masih kondisi PPKM/belum normal). Kata dia, apabila dilihat dari desain Stasiun Manggarai baru saat ini, dapat dikatakan kemampuan stasiun masih kurang layak untuk menampung jumlah pengguna transit 120.000 orang per hari.
Deddy menilai kurang layaknya adalah karena ruang akses transitnya terbatas, jumlah tangga kurang dan lebar tangga kurang mencukupi. Kenyataan seperti di Manggarai, kata Deddy, seperti Stasiun Tanah Abang sebagai stasiun lama di kala peak yang juga tidak layak lagi sebagai sebagai stasiun transit.
"Tanah Abang kapasitas normal 30.000 orang per hari dipaksa menampung 100.000 penumpang per hari. Belajar dari ketidakmampuan Stasiun Tanahabang, sebenarnya tidak perlu terjadi lagi di Manggarai karena sebagai stasiun baru," kata Deddy.
Pihaknya pun membandingkan data penumpang sebelum pandemi Covid-19, di mana pengguna KRL mayoritas dari Bogor/Depok sebesar 59,34%. Sementara dari Rangkasbitung/Serpong 16,30%, Cikarang/Bekasi 15,97% dan Tangerang 8,40%.
Dalam data tersebut, kata Deddy, sangat ironis bahwa pengguna yang terbanyak dari lintas Depok/Bogor malah harus transit di Manggarai.
Baca Juga:Mau Gantikan Gambir, Pengamat Ungkap Sederet Permasalahan Stasiun Manggarai
"Jadi tidak heran pengguna dari lintas Bogor/Depok tersiksa ketika transit. Sebenarnya kondisi sebelum SO5, transit di Manggarai sudah adil, artinya pengguna KRL dari loop/feeder Angke/Tanah Abang/Sudirman tujuan Bogor/Depok tidak perlu transit lagi," ungkapnya.
Kemudian di tahun 2019, pengguna dari Bogor ke Sudirman/Tanah Abang/Angke sebanyak 73.848.157 orang per tahun. Sementara dari Cikarang/Bekasi lebih sedikit yakni 53.673.499 orang per tahun.
"Dari data tersebut sebenarnya malah blunder bila data penumpang terbanyak malah diminta transit di Manggarai. Hasil SO5 tersebut membuktikan bahwa perencanaan pola pelayanan di Manggarai hanya berdasar atas kemudahan melayani kereta api, bukan kepada hakikat kemudahan pelayanan penumpang atas tarikan perjalanan," paparnya.
Dalam hitungan INSTRAN, jika ditilik saat ini jumlah perjalanan kereta (perka) setelah SO5, KRL dari Bogor/Depok ke Manggarai sebanyak 167 perka. Sementara KRL loop feeder dan KRL Cikarang/Bekasi ke Sudirman/Tanahabang/Duri/Angke hanya sebanyak 75 perka.
"Jumlah perka sangat tidak berimbang, berbanding 1:2,2 sehingga tidak dapat dikatakan sebagai dintegrasi jadwal KRL. Dengan asumsi KRL loop feeder dengan headway rerata 10 menit, bila berbanding 1:2,2 maka pengguna lintas Bogor/Depok berpotensi menunggu headway sampai 20 menit di Manggarai bila akan melanjutkan ke Sudirman atau Tanah Abang. Kondisi tidak berimbangnya perka tersebut akan mengakibatkan pengguna KRL menumpuk di peron Manggarai," ucap Deddy.
Melihat kondisi tersebut, Deddy menyarankan regulator dan operator kereta api segera mengevaluasi kembali SO5 tersebut.
Idealnya, kata Deddy, perencanaan pelayanaan outcome hanya untuk kemudahan layanan penumpang bukan kepada layanan kemudahan operasi perkeretaapian.
"Harapan pengguna KRL bahwa layanan di Manggarai dikembalikan seperti sedia kala, yakni pengguna terbanyak dari Bogor/Depok bila mau ke Sudirman/Tanahabang tidak perlu transit. Kesuksesan transportasi umum adalah meminimalisasi transit bukan malah menambah transit," ungkap Deddy.
Apabila tetap tidak berubah pelayanan SO5 tersebut, maka lebih baik dengan kondisi eksisting saat ini di Manggarai, maka perbandingan perka antara KRL loop/feeder Angke/Tanahabang/Sudirman (dari Cikarang/Bekasi) dan perka Bogor/Depok adalah 1:1 sehingga ada jadwal KRL yang terintegrasi.
"Kalau jumlah sarana KRL masih terbatas paling tidak harapan perbandingannya 1:1,5. Jika perbandingan berimbang maka dipastikan tidak ada lagi penumpukan di Manggarai. Diharapkan lagi ada penambahan tangga untuk transit dari lantai 3 ke lantai 1 untuk kemudahan penumpang transit," kata dia .
Lebih lanjut, Deddy menuturkan jika lebih kreatif dalam desain stasiun, transit dapat dilakukan hanya dalam 1 peron. Yakni 1 peron dengan 2 jalur dengan lintas KRL berbeda tujuan untuk transit atau 1 jalur 1 peron dengan 2 lintas KRL tujuan yang berbeda untuk transit.
"Dalam desain seperti ini akan lebih memudahkan pengguna KRL dalam transit, sehingga tidak perlu repot bersusah payah naik turun lantai 1 dan 3 untuk transit," katanya.