SuaraJakarta.id - Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Eneng Malianasari mengritisi soal rencana Pemerintah Provinsi DKI yang ingin memisahkan penumpang pria dan wanita di dalam Angkutan Kota atau Angkot demi mencegah pelecehan seksual. Kebijakan ini dinilai hanya sebagai solusi jangka pendek.
Eneng mengatakan, rencana tersebut sulit diterapkan karena kapasitas angkot yang sedikit dan ruangnya sempit. Jika diterapkan, menurutnya akan menjadi kebijakan yang tidak efektif.
"Kebijakan tersebut tidak efektif, hanya sebagai solusi jangka pendek dan tidak berkepanjangan. Belum lagi Dishub tidak memikirkan ruang angkot yang sempit untuk membagi hal tersebut, berbeda dengan TransJakarta atau commuter line yang memiliki ruang luas," kata Eneng dalam keterangannya, Selasa (12/7/2022).
Anggota Komisi C DPRD DKI ini menyebut jika diterapkan, masalah yang terjadi bukan hanya soal implementasinya saja. Pemprov akan kesulitan melakukan pengawasan dan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi kejadian pelecehan tersebut.
Baca Juga:Melonjak! Kasus Covid-19 di DKI Jakarta Hari Ini Tambah 1.478 Kasus
Karena itu, seharusnya ada pembahasan serius yang melibatkan berbagai pihak terkait untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual ke depannya.
"Pemerintah bersama semua stakeholder baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum, terutama angkot. Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi," tuturnya.
Ia meminta pemerintah perlu juga merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum.
"Jadi tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual harus ditangani secara sistematis terorganisir agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali pelecehan seksual," ucapnya.
Kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual juga telah diatur dalam UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS yang sudah disahkan pada tanggal 12 April 2022 lalu.
Baca Juga:DLH DKI Kerahkan 350 Petugas Bersihkan Sampah Salat Idul Adha di Stadion JIS Besok
"Aparat penegak hukum juga diminta untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku," katanya.
Dalam Pasal 5 UU TPKS mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara. Tak hanya itu, UU TPKS juga mengatur pelecehan seksual fisik sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual. Menurut Pasal 6 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta.