5 Pantangan yang Sebaiknya Dihindari Saat Malam 1 Suro

Malam ini diselimuti suasana sakral, hening, dan penuh nuansa spiritual dalam kepercayaan suku Jawa

Muhammad Yunus
Kamis, 26 Juni 2025 | 16:36 WIB
5 Pantangan yang Sebaiknya Dihindari Saat Malam 1 Suro
Malam 1 Suro, yang menandai awal tahun dalam kalender Jawa, bukan momen untuk berpesta, melainkan waktu untuk introspeksi, refleksi diri, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta [Suara.com]

SuaraJakarta.id - Bagi sebagian besar anak muda, perayaan tahun baru identik dengan kembang api, terompet, dan pesta meriah.

Namun, di jantung tradisi Jawa, ada sebuah "tahun baru" yang disambut dengan cara yang sangat berbeda. Malam 1 Suro.

Jauh dari hingar bingar, malam ini justru diselimuti suasana sakral, hening, dan penuh nuansa spiritual.

Malam 1 Suro, yang menandai awal tahun dalam kalender Jawa, bukan momen untuk berpesta, melainkan waktu untuk introspeksi, refleksi diri, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Baca Juga:Harapan Mas Dhito: Kontingen Kabupaten Kediri Masuk 5 Besar Porprov 2025

Kepercayaan ini melahirkan serangkaian pantangan atau larangan yang diyakini harus dipatuhi untuk menghindari sengkala atau kesialan di tahun yang akan datang.

Bagi generasi milenial dan Gen Z, memahami larangan ini bukan hanya soal percaya atau tidak percaya pada hal mistis.

Ini adalah jendela untuk melihat kekayaan filosofi dan kearifan lokal leluhur.

Jadi, apa saja hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat malam 1 Suro? Mari kita selami lebih dalam.

1. Dilarang Bepergian Jauh, Terutama Tanpa Tujuan Jelas

Baca Juga:Pemprov DKI Dukung Langkah Gubernur Jabar Membatasi Pembangunan Vila di Puncak

Salah satu pantangan malam 1 Suro yang paling populer adalah larangan untuk bepergian jauh, apalagi jika tidak ada tujuan yang mendesak.

Kepercayaan lama menyebutkan bahwa pada malam ini, batas antara dunia manusia dan dunia gaib menipis.

Bepergian tanpa tujuan dianggap dapat mengundang marabahaya atau "diganggu" oleh energi negatif.

Secara filosofis, larangan ini mengajak kita untuk "tetap di rumah" dalam arti harfiah dan kiasan.

Artinya, kita dianjurkan untuk menenangkan diri, fokus ke dalam, dan tidak terbawa oleh keinginan duniawi yang sering kali membuat kita gelisah.

Alih-alih keluyuran, masyarakat Jawa tradisional justru melakukan ritual tirakat atau lek-lekan (tidak tidur semalaman) di rumah sambil berdoa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini