SuaraJakarta.id - Bagi sebagian besar anak muda, perayaan tahun baru identik dengan kembang api, terompet, dan pesta meriah.
Namun, di jantung tradisi Jawa, ada sebuah "tahun baru" yang disambut dengan cara yang sangat berbeda. Malam 1 Suro.
Jauh dari hingar bingar, malam ini justru diselimuti suasana sakral, hening, dan penuh nuansa spiritual.
Malam 1 Suro, yang menandai awal tahun dalam kalender Jawa, bukan momen untuk berpesta, melainkan waktu untuk introspeksi, refleksi diri, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Baca Juga:Harapan Mas Dhito: Kontingen Kabupaten Kediri Masuk 5 Besar Porprov 2025
Kepercayaan ini melahirkan serangkaian pantangan atau larangan yang diyakini harus dipatuhi untuk menghindari sengkala atau kesialan di tahun yang akan datang.
Bagi generasi milenial dan Gen Z, memahami larangan ini bukan hanya soal percaya atau tidak percaya pada hal mistis.
Ini adalah jendela untuk melihat kekayaan filosofi dan kearifan lokal leluhur.
Jadi, apa saja hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat malam 1 Suro? Mari kita selami lebih dalam.
1. Dilarang Bepergian Jauh, Terutama Tanpa Tujuan Jelas
Baca Juga:Pemprov DKI Dukung Langkah Gubernur Jabar Membatasi Pembangunan Vila di Puncak
Salah satu pantangan malam 1 Suro yang paling populer adalah larangan untuk bepergian jauh, apalagi jika tidak ada tujuan yang mendesak.
Kepercayaan lama menyebutkan bahwa pada malam ini, batas antara dunia manusia dan dunia gaib menipis.
Bepergian tanpa tujuan dianggap dapat mengundang marabahaya atau "diganggu" oleh energi negatif.
Secara filosofis, larangan ini mengajak kita untuk "tetap di rumah" dalam arti harfiah dan kiasan.
Artinya, kita dianjurkan untuk menenangkan diri, fokus ke dalam, dan tidak terbawa oleh keinginan duniawi yang sering kali membuat kita gelisah.
Alih-alih keluyuran, masyarakat Jawa tradisional justru melakukan ritual tirakat atau lek-lekan (tidak tidur semalaman) di rumah sambil berdoa.
2. Menghindari Pesta Pernikahan dan Perayaan Meriah
Jika Anda berencana menikah, leluhur Jawa sangat tidak menyarankan untuk melangsungkannya di bulan Suro, terutama saat malam puncaknya.
Malam 1 Suro dianggap sebagai waktu untuk prihatin atau berduka atas perjalanan hidup setahun ke belakang, bukan untuk bersuka cita.
Menggelar pesta besar seperti pernikahan atau khitanan dianggap menantang kesakralan bulan ini dan dikhawatirkan akan membawa nasib buruk bagi acara tersebut.
Inilah mengapa kalender Jawa menjadi sangat penting bagi mereka yang masih memegang teguh tradisi dalam menentukan "hari baik".
3. Tidak Berkata Kasar, Bergunjing, atau Berpikir Negatif
Inilah pantangan yang relevansinya sangat terasa hingga kini. Pada malam yang dianggap penuh energi spiritual, setiap ucapan dan pikiran diyakini memiliki kekuatan yang lebih besar.
Berkata kasar, mengumpat, bergunjing, atau bahkan sekadar memendam pikiran buruk dianggap dapat menjadi "doa" yang terkabul dalam bentuk negatif.
Larangan ini pada dasarnya adalah latihan pengendalian diri. Dengan menjaga lisan dan pikiran, kita diajak untuk membersihkan hati dan memulai tahun yang baru dengan niat yang suci.
Ini sejalan dengan konsep mindfulness yang sedang tren di kalangan anak muda saat ini.
4. Dilarang Pindah Rumah
Mencari hari baik untuk pindah rumah adalah bagian penting dalam budaya Jawa.
Bulan Suro, khususnya malam 1 Suro, termasuk dalam kategori "hari yang tidak baik" untuk aktivitas besar seperti memulai hidup di tempat baru.
Diyakini, pindah rumah pada waktu ini dapat membawa energi kurang harmonis ke dalam hunian baru, yang berakibat pada ketidaktenangan penghuninya.
5. Tidak Membuat Keributan dan Menjaga Ketenangan
Hening adalah kunci dari ritual Suro. Malam ini adalah waktu untuk kontemplasi mendalam.
Membuat keributan, menyalakan musik keras, atau bertengkar dianggap mengganggu kesakralan dan dapat "mengusik" entitas lain yang sedang "keluar" pada malam tersebut.
Banyak masyarakat yang memilih melakukan tapa bisu, yaitu ritual berjalan kaki mengelilingi benteng keraton atau tempat bersejarah lainnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ini adalah simbol perjalanan reflektif menyambut tahun baru.
Bukan Sekadar Mitos: Makna di Balik Larangan
Mungkin sebagian dari kita memandang deretan pantangan ini sebagai takhayul kuno. Namun, jika dilihat dari sudut pandang budaya dan filosofi, larangan ini memiliki makna yang dalam.
Seorang budayawan Jawa pernah berkata, "Malam 1 Suro sejatinya adalah momentum untuk 'menepi', melihat ke dalam diri, bukan panggung untuk pamer kekuatan atau kegembiraan. Larangan-larangan itu adalah pagar agar kita fokus pada esensi tersebut."
Intinya, semua pantangan malam 1 Suro ini bertujuan untuk satu hal: membentuk pribadi yang lebih baik melalui introspeksi, pengendalian diri, dan penghormatan terhadap alam semesta.
Ini adalah cara leluhur kita memastikan generasi penerusnya memulai lembaran baru dengan jiwa yang bersih dan pikiran yang jernih.
Jadi, terlepas dari apakah Anda memercayainya atau tidak, menghargai tradisi ini adalah bentuk penghormatan kita pada kekayaan budaya Nusantara.
Bagaimana dengan daerahmu? Apakah ada tradisi atau pantangan unik saat menyambut malam 1 Suro?
Bagikan ceritamu di kolom komentar di bawah ini! Mari kita berdiskusi dan saling belajar.