Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah | Muhammad Yasir
Jum'at, 30 Oktober 2020 | 11:22 WIB
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengumumkan Bakal Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur di enam provinsi pada Pilkada Serentak 2018 di DPP PDIP kawasan Lenteng Agung, Jakarta, Minggu (7/1/2017) [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]

SuaraJakarta.id - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengkritik pedas pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang menyinggung sumbangsih kaum milenial yang dinilai hanya bisa berdemo hingga melakukan kericuhan.

Asfinawati mengingatkan Megawati untuk tidak menggeneralisir aksi demonstrasi dengan kericuhan.

Di sisi lain, ia juga menegaskan bahwa banyak demonstran yang turun ke jalan enyampaikan penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja secara damai.

"Ada logika melompat dan menggeneralisir kalau demo kerap berujung kerusuhan dan yang merusak pasti yang berdemonstrasi. Padahal banyak sekali orang berdemonstrasi dan tidak melakukan kekerasan," kata Asfinawati kepada Suara.com, Jumat (30/10/2020).

Baca Juga: Bela Milenial, Tengku: Sudah Ketiban Utang, Dituduh Dimanjakan, Sabar Rek

Ketua YLBHI Asfinawati di D'Consulate, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, Sabtu (5/10/2019). [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]

Realitas tersebut, kata Asfinawati, semakin diperkuat dengan hasil investigasi Mata Najwa bertajuk “62 Menit Operasi Pembakaran Halte Sarinah l Buka Mata” yang disiarkan pada Rabu (28/10/2020).

Berdasar video berdurasi 9 menit 58 detik yang diunggah di akun YouTube Narasi Newsroom itu, dapat dipastikan bahwa pelaku perusak dan pembakar Halte Transjakarta Sarinah bukanlah bagian dari demostran.

Melainkan diduga dari kelompok tertentu yang terorganisir dan dengan sengaja ingin menciptakan kericuhan.

"Itu menguatkan pembakaran halte bukan dilakukan oleh pendemo. Dari pengaduan-pengaduan yang masuk ke tim advokasi memang penangkapan sebagian besar random, yaitu yang ikut aksi, bukan karna melakukan kekerasan. Karena itu sebagian besar kan dibebaskan," ujarnya.

Halte Transjakarta Bundaran HI dibakar massa, Kamis (8/10/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Peristiwa Kudatuli

Baca Juga: Megawati Pertanyakan Sumbangsih Milenial, Buruh: Kami Tersinggung!

Asfinawati lantas mengingatkan kembali kepada Megawati terkait peristiwa Kudatuli, sebuah akronim dari Kerusuhan 27 Juli 1996.

Peristiwa penyerangan terhadap Kantor DPP PDI—sebelum berganti menjadi PDI-P—di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat itu diketahui bermula atas adanya dualisme di tubuh PDI.

Ketika itu Ketua Umum PDI versi Kongres Medan, Soerjadi menyerbu dan menguasai Kantor DPP PDI yang dikuasai Ketua Umum PDI versi Kongres Surabaya, yakni Megawati Soekarnoputri.

Peristiwa penyerbuan yang menyebabkan lima orang meninggal dunia itu diduga melibatkan unsur militer di bawah pemerintahan Orde Baru.

Sementara itu, menurut Asfinawati, tumbangnya rezim Orde Baru sebagaimana diketahui tidak lain berkat perjuangan mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat lainnya turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi.

Hingga akhirnya, Presiden Soeharto pun mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998.

Atas hal itu, Asfinawati pun menyindir Megawati untuk kembali mengingat betapa pentingnya aksi demonstrasi tersebut.

Sebab, berkat perjuangan di jalanan tersebut kekinian Megawati dan PDI turut menikmatinya hingga menjadi partai penguasa.

"Kalau tidak ada demonstrasi, Orde Baru yang berada d balik penyerangan kantor PDI di tahun 96 nggak akan tumbang. Saat 96 itu kan banyak korban," tegas Asfinawati.

Presiden Soeharto saat menyatakan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998. (Youtube)

Omong Kosong

Asfinawati juga menilai pernyataan Megawati yang menyarankan agar pihak-pihak yang tidak setuju dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja untuk menyampaikan aspirasi kepada DPR RI hanyalah omong kosong belaka.

Sebab, apa yang disarankan oleh Megawati itu sejatinya telah dilalui tanpa hasil.

Menurut Asfinawati apa yang terjadi kekinian hingga menyebabkan mahasiswa, buruh, pelajar, petani dan elemen masyarakat turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi, tidak lain karena pemerintah dan DPR tidak dipercaya dan mau mendengarkan aspirasi rakyat.

Sehingga, dia menilai pernyataan Megawati yang menyarankan agar pihak-pihak yang tak sependapat dengan kebijakan pemerintah untuk menyampaikan kepada DPR sejatinya merupakan sesuatu yang tak sesuai dengan kenyataannya.

"Kalau situasi baik-baik saja, siapa sih yang pengen demo, capek," kata Asfinawati.

"Proses Omnibus Law, Revisi UU KPK, UU Minerba, jelas menunjukkan mereka nggak mendengarkan suara rakyat," pungkasnya.

Ratusan demonstran yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) berunjuk rasa menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja di Alun-alun Serang, Banten, Rabu (14/10/2020). [ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman]

Demo dan Kericuhan

Megawati sebelumnya menyoroti demonstrasi yang digelar mahasiswa, pelajar, buruh dan elemen masyarakat lainnya menolak Omnibus Law Cipta Kerja di Jakarta dan sejumlah daerah lain hingga berujung ricuh.

Putri mendiang Presiden pertama RI Soekarno itu mempertanyakan urgensi mereka melakukan aksi demonstrasi.

Sebab, menurut dia, pihak-pihak yang merasa tidak setuju dengan aturan tersebut bisa menyampaikan aspirasinya melalui DPR.

"Kurang apa saya bilang pada mereka yang mau demo-demo, ngapain sih kamu demo-demo. Kalau tak cocok, pergi ke DPR. Di sana ada yang namanya rapat dengar pendapat. Itu terbuka bagi aspirasi," kata Megawati saat peresmian sejumlah kantor PDIP secara virtual dari kediamannya di Teuku Umar, Jakarta, Rabu (28/10/2020).

Tangkapan layar Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat memberikan pengarahan pada pengumuman calon kepala daerah PDIP gelombang IV, yang dilaksanakan secara virtual, di Jakarta, Jumat (28/8/2020). (Antara/Syaiful Hakim)

Selain itu, Megawati juga menyoroti terkait adanya perusakan fasilitas umum di tengah-tengah aksi demonstrasi.

"Masya Allah, susah-susah bikin halte-halte Transjakarta, enak aja dibakar, emangnya duit lo? Ditangkap tak mau, gimana ya. Aku sih pikir lucu banget nih Republik Indonesia sekarang," kata Megawati.

Load More