Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah
Selasa, 17 November 2020 | 19:10 WIB
Tangkapan layar para pemateri dalam rilis survei Indikator Politik Indonesia soal Dinamika Elektoral Pilwalkot Tangsel: Dilema Partisipasi Pemilih di Era Pandemi, Selasa (17/11/2020). [Ist]

Titi menyebut, besarnya harapan responden terhadap sifat pemimpin yang bersih dari korupsi dan meningkatnya pemilih yang anggap wajar politik uang itu sebagai anomali.

"Ketika saya mendengar harapan pemilih pemimpin yang jujur dan bersih korupsi, saya serasa dilempar ke bulan. Tetapi ketika penerimaan money politic yang juga tinggi, saya serasa dibanting lagi ke bumi," ungkapnya.

Menurutnya, dengan adanya hasil survei terkait potensi politik uang yang cukup tinggi itu, menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi penyelenggara, pasangan calon dan tim sukses untuk meminimalisir dan memberantas money politic.

"Perlu dorongan besar dari penyelenggara, publik dan media, politik bersih harus ekstra dilakukan," tambah Titi.

Baca Juga: Diperiksa soal 'Coblos Udel', Keponakan Prabowo Dicecar 27 Pertanyaan

Soal partisipasi pemilih pun, lanjut Titi, harus jadi perhatian besar.

Pasalnya, selama Pilkada Tangsel tingkat partisipasinya tidak lebih dari 60 persen.

"Sebagai warga Tangsel yang juga memiliki hak memilih, sosialisasi dari penyelenggara saya merasa kurang terpapar tata cara pemilihan. Kurangnya informasi rekam jejak kandidat dan interaksi dengan penyelenggara minim sekali," ungkap Titi.

Partisipasi Pemilih

Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto menyebut, ada sejumlah tantangan dalam meningkatkan partisipasi pemilih di Pilkada Tangsel 2020.

Baca Juga: Ada Dugaan Politik Uang, Nia-Usman Laporkan Tim Dadang dan Sahrul Gunawan

"Tantangannya yakni, ada situasi tidak nyaman disaat pandemi ini yang membuat orang makin malas datang ke TPS. Selain itu, Pemilu dilaksanakan hari Rabu, banyak warga Tangsel kerja di Jakarta dan memilih bekerja. Dalam sosialisasi, merasa tidak ada pelibatan," pungkasnya.

Load More