Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah
Selasa, 30 Maret 2021 | 20:05 WIB
Kondisi terkini bendungan Situ Gintung di Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan. [Suara.com/Wivy]

SuaraJakarta.id - Tak terasa, 12 tahun sudah tragedi jebolnya bendungan Situ Gintung di Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) berlalu. Masih segar diingatan betapa saat jebolnya bendungan yang dibangun sejak zaman kolonial Belanda itu memberi dampak yang dahsyat.

Ratusan orang meninggal akibat tergulung tumpahan air dan lumpur dari bendungan Situ Gintung. Sementara ratusan rumah turut hancur dihantam derasnya air bendungan yang jebol. Bahkan, dari ratusan jiwa yang terbawa arus air bendungan itu, masih ada sejumlah jasad yang belum ditemukan hingga saat ini.

Meski sudah satu dekade lebih berlalu, tragedi Situ Gintung itu masih lekat dipikiran Supriyati. Ibu paruh baya itu masih mengingat betul arus dari bendungan itu membuat rumahnya porak poranda.

Baca Juga: Pakai Baju Habib Rizieq, Ojol Terduga Teroris Dibekuk di Ciputat Tangsel

Dia juga masih mengingat, bagaimana dia dan keluarganya menyelamatkan diri. Bahkan, sang suami hampir meninggal karena kehabisan tenaga berenang dalam air yang ada di dalam rumahnya.

SuaraJakarta.id berkesempatan untuk mewawancarai Supriyati, mengenang tragedi jebolnya bendungan Situ Gintung yang menelan ratusan korban jiwa.

Supriyati bercerita, tragedi jebolnya Situ Gintung terjadi pada Jumat 27 Maret 2009 menjelang subuh. Saat itu, dirinya tengah tertidur lelap.

Tiba-tiba, ia mendengar suara gemuruh cukup keras dan perlahan air mulai masuk ke rumahnya. Meski, tak dapat memastikan jaraknya, Supriyati mengaku, rumahnya cukup dekat dengan bendungan Situ Gintung, yakni kurang dari 100 meter.

"Saya kebangun dengar suara gemuruh dan teriakan orang-orang, 'Setu jebol, Setu jebol' katanya. Saat itu saya tidur di lantai dua, langsung lari ke bawah bangunkan anak-anak. Air belum masuk, tapi semua keluarga dan ponakan sudah pada kumpul. Enggak lama setelah itu, air mulai masuk nyembur lewat jendela saking derasnya," katanya saat ditemui di warung depan Masjid Al-Jabalullrahmah, Cirendeu, Sabtu (27/3/2021).

Baca Juga: Antisipasi Teror Bom di Tangsel, Airin Perketat Keamanan Tempat Ibadah

Supriyati, korban selamat tragedi bendungan Situ Gintung di Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, menceritakan detik-detik musibah yang menelan ratusan jiwa, saat ditemui di lokasi. [Suara.com/Wivy]

Derasnya air jebolan bendungan itu, menghantam perabotan di dalam rumahnya. Mulai dari kursi hingga peralatan elektronik lainnya. Tak hanya itu, televisi dan kulkas miliknya pun hanyut.

Akibat derasnya air jebolan itu juga, hampir merenggut nyawa sang suami. Saat itu, suaminya yang menjabat ketua RT setempat tenggelam usai menolong tetangganya. Untungnya, tak lama tenggelam karena kelelahan, berhasil ditemukan oleh salah satu anaknya.

"Bangku-bangku pada mental. Suami saya juga sempat kena bangku. Kemudian semuanya naik ke atas lantai dua. Tapi air deras, sampai ruangan lantai dua kerendam, sekira 8 meteran. Akirnya naik ke rooftop pakai tangga darurat biasa buat betulin toren. Suami saya belakangan naiknya, karena nolongin tetangga yang teriak-teriak pada pegangan di pager tralis. Setelah nolong tetangga suami saya malah kebawa air, kerendam, ingat-ingat sudah di dalam air katanya. Anak saya nyariin, kepegang dan langsung diangkat," paparnya.

Ibu tiga anak itu menuturkan, saat itu, situasinya sangat mencekam. Air mengalir deras, bersahutan dengan suara teriakan tetangganya yang meminta tolong. Bahkan ada yang teriak terbawa hanyut.

Menurutnya, tragedi itu ibarat tsunami. Luapan air bendungan Situ Gintung yang tumpah menggulung pemukiman sekitar. Bahkan, luapan air itu terjadi dua kali. Terparah, pada luapan kedua.

"Banyak tetangga yang teriak-teriak. Kayak tsunami. Air tuh datangnya kayak ombak tinggi dan kayak ngegulung. Airnya datang dua kali. Pertama itu nggak terlalu parah. Dan pas gelombang kedua parah banget. Banyak tetangga yang tadinya sudah menyelamatkan diri dan balik lagi ke rumahnya. Tapi tiba-tiba air datang lagi dan pada kerendem. Tahu-tahu air surut pada nyangkut diplafon dan sudah meninggal," tuturnya.

"Tetangga depan saya banyak kontrakan, itu banyak yang meninggal. Belakang rumah saya juga banyak. Pokoknya itu musibah besar," sambungnya.

Kondisi terkini bendungan Situ Gintung di Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan. [Suara.com/Wivy]

Dalam situasi mencekam, Supriyati sempat menolong salah seorang bayi berusia 40 hari. Bayi itu diberikan oleh kakeknya yang kemudian hanyut dengan ibunya. Keduanya hanyut beberapa ratus meter dan baru diketemukan siang dengan keadaan selamat.

"Saya sempat ambil dari kakeknya dan meluk bayinya karena kedinginan. Sedangkan ibu dan kakeknya hanyut dan ditemukan siangnya harinya dalam keadaan selamat," ungkapnya. Bayi tersebut, kini diketahui bernama Satria.

Supriyati memperkirakan, dalam musibah bendungan Situ Gintung jebol itu, ada sekira 101 orang yang meninggal. Kebanyakan mereka meninggal karena terseret arus dan terlalu banyak meminum air bercampur lumpur.

"Banyak korban meninggal yang terjebak di dalam rumah dan terombang-ambing ombak air bendungan. Di tambah air sudah tercampur lumpur. Jadi kalau ketelan, banyaknya nggak selamat. Banyak yang dibawa ke RSUP Fatmawati dan meninggal. Ada 101 yang meninggal," katanya sambil mengelus dada.

Supriyati menambahkan, dari ratusan korban jebolnya bendungan Situ Gintung, masih ada empat jasad yang sampai saat ini belum ditemukan. Yakni, satu bayi berusia 9 bulan, satu anak laki-laki kelas 4 SD. Kemudian ada ibu-ibu berusia 23 dan 45 tahun.

"Sudah 12 tahun, tapi masih ada yang belum ditemuin. Bayi 9 bulan, anak kelas 4 SD laki-laki, ibu-ibu umur 23 dan ibu-ibu sekira 45 Ibu Eti. Bu Eti ini tetangga saya, terakhir ketemu itu hari Kamis habis merayakan Maulid Nabi. Habis pada masak-masak dan kita belum sempat beres-beresin perabotan. Tetapi subuhnya ada musibah itu," beber Supriyati mengenang tetangganya itu.

Meski 12 tahun berlalu, tetapi Supriyati mengaku, masih merasakan trauma mendalam akibat musibah tersebut. Dia, sering menangis tanpa sebab, ketika melihat derasnya aliran kali dari bendungan tersebut.

"Sudah 12 tahun masih keingat. Saya kalau ngelihat aliran air kenceng di kali lagi besar, ya saya keingat kejadian itu. Sedih, takut. Kalau keingetan saya nangis sendiri, takut. Karena waktu itu situasinya emang mencekam," pungkasnya.

Kondisi terkini bendungan Situ Gintung di Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan. [Suara.com/Wivy]

Diketahui, bendungan tersebut dibangun pada masa kolonial Belanda pada tahun 1932-1933. Bendungan tersebut memiliki luas sekira 21,4 hektare dengan kedalaman 10 meter.

Kini, 12 tahun berlalu, bendungan tersebut sudah ramai aktivitas warga lagi. Pantauan SuaraJakarta.id di lokasi banyak warga yang tengah jogging di sana.

Ada juga sejumlah warga yang hanya duduk di pinggiran bendungan menikmati pemandangan dan mengobrol dengan temannya. Mereka yang berkunjung ke bendungan Situ Gintung juga disuguhi berbagai macam jajanan yang dijajakan warga sekitar.

Kontributor : Wivy Hikmatullah

Load More