Rizki Nurmansyah
Selasa, 14 Desember 2021 | 08:05 WIB
Ilustrasi pelecehan seksual di tempat kerja atau oleh rekan kerja. [Suara.com/Rochmat]

SuaraJakarta.id - Malam itu terasa kelam bagi Wati (bukan nama sebenarnya). Gadis di Tangerang berusia 20 tahunan ini baru saja mendapat pengalaman buruk. Terburuk selama seumur hidupnya hingga saat ini.

Wati masih tak menyangka menjadi korban pelecehan seksual oleh Jaka (bukan nama sebenarnya, rekan kerjanya di lapangan, Sekilas, Jaka tak ada sama sekali tampang bakal melakukan pelecehan seksual.

Raut wajahnya terlihat polos, berkacamata dengan tubuh gemuknya. Hal itu yang membuat Wati hingga kini masih keheranan.

"Habis kerasukan apa sampai dia berani ngelakuin itu?" kata Wati keheranan.

Baca Juga: Banyak Kasus Pelecehan, Nova Eliza Gelisah RUU PKS Belum Disahkan

Pelecehan seksual oleh rekan kerja itu bermula ketika Wati dan Jaka bertugas bareng dalam sebuah pekerjaan. Saat itu, keduanya bertugas hingga malam hari.

Dalam perjalanan pulang, keduanya mampir sejenak ke warung kopi menuntaskan pekerjaan yang tertunda. Sambil meneduh dan minum kopi di sebuah warung. Meski di pinggir jalan tapi sepi.

Melihat kondisi sekitar sepi, pikiran bejat Jaka mulai muncul. Perlahan, dia mulai memegang pundak Wati dari belakang. Persis seperti hendak memeluk dari belakang.

Sesekali, Wati menganggap hal itu hanya sekadar iseng. Kemudian dia lepaskan tangan Jaka dari pundaknya.

"Ah ngapain sih lu bang," kata Wati sambil mengingat-ingat insiden kelam dalam hidupnya itu.

Baca Juga: Kasus Pelecehan di UNJ, Dosen DA Diduga Ajak Tidur Bersama dan Minta Oral Seks

Jaka kemudian seolah tak kehabisan akal. Bahkan lebih beringas. Jaka mulai semakin mendekati Wati hingga bagian kelaminnya sengaja ditempelkan ke badan Wati.

Merasa tak nyaman dengan situasi itu, Wati dengan cepat bergegas pulang menyelamatkan diri. Sepanjang jalan di atas motor, pikirannya masih membayang apa yang dilakukan Jaka. Heran dan terkejut, rekan kerjanya bisa berbuat tak senonoh kepadanya.

Sampainya di rumah, Wati kembali dibuat terkejut setelah mendapati pesan Jaka yang tiba-tiba meminta maaf.

"Dia minta maaf, tapi saya belum tahu alasannya minta maaf apa. Pas ditanya ternyata dia ngaku kalau dia punya niat ngelakuin pelecehan seksual," ungkap Wati kesal.

Wati makin terperanjat, ketika Jaka bahkan terang-terangan mengungkapkan niat cabulnya menempel bagian kelaminnya ke punggung Wati yang tengah duduk itu.

"Dia sampai bilang, 'Maaf ya tadi khilaf banget mau nempelin punyaku ke kamu'. Saya syok, kesal nggak karuan," katanya sambil mengepalkan tangan menahan kesal dan tak menyangka hal itu dialaminya.

Malam itu, Wati hanya bisa menangis. Mengurung diri di kamar terbayang kejadian yang tak dia duga. Wati memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan Jaka. Dia memblokir nomor kontak Jaka di HP-nya.

Trauma mulai menjadi. Hampir sepekan di dalam otaknya memikirkan kejadian tersebut. Kesal masih menggumul di dalam hati dan pikiran Wati.

Tak ingin lama-lama terpuruk, Wati kemudian mencoba menemui Jaka. Dia ingin melampiaskan kekesalannya untuk terakhir kali.

Suatu waktu, Wati dan Jaka bertemu di kantin perkantoran. Situasinya sepi saat itu, hanya ada para penjaga kantin.

Tanpa basa-basi, Wati menampar Jaka beberapa kali untuk meluapkan emosinya. Jaka hanya bisa pasrah menerima tamparan itu sebagai konsekuensi atas pelecehan seksual yang dilakukannya ke Wati.

Meski sudah meluapkan emosinya, Wati tak memungkiri hingga saat ini masih mengalami trauma. Dia merasa lingkungan di sekitarnya tak aman. Menjaga jarak dari kerumunan yang dominan lelaki.

"Sampai sekarang kalau ada anak cowok, nggak berani duduk dekatan, masih takut. Kadang gemeteran, nahan sedih. Tapi sebisa mungkin nahan ngendaliin diri di depan orang banyak," bebernya.

Untuk bercerita kepada SuaraJakarta.id soal pengalaman buruknya itu pun Wati harus memberi waktu. Dia menimang dampak baik dan buruknya jika peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya itu termuat menjadi berita di media.

Tetapi seiring itu, Wati meyakinkan diri untuk bercerita, berharap pengalamannya menjadi pelajaran dan mengajak semua korban pelecehan seksual untuk berani mengungkap kebenaran.

"Setelah menjadi korban baru tahu, sesakit ini dilecehkan. Satu sisi pengen mencari keadilan dan satu sisi banyak sekali ketakutan. Terutama sanksi sosial dan pandangan negatif dari sekitar setelahnya," pungkasnya.

Kontributor : Wivy Hikmatullah

Load More