Rizki Nurmansyah
Selasa, 14 Desember 2021 | 08:05 WIB
Ilustrasi pelecehan seksual di tempat kerja atau oleh rekan kerja. [Suara.com/Rochmat]

Malam itu, Wati hanya bisa menangis. Mengurung diri di kamar terbayang kejadian yang tak dia duga. Wati memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan Jaka. Dia memblokir nomor kontak Jaka di HP-nya.

Trauma mulai menjadi. Hampir sepekan di dalam otaknya memikirkan kejadian tersebut. Kesal masih menggumul di dalam hati dan pikiran Wati.

Tak ingin lama-lama terpuruk, Wati kemudian mencoba menemui Jaka. Dia ingin melampiaskan kekesalannya untuk terakhir kali.

Suatu waktu, Wati dan Jaka bertemu di kantin perkantoran. Situasinya sepi saat itu, hanya ada para penjaga kantin.

Tanpa basa-basi, Wati menampar Jaka beberapa kali untuk meluapkan emosinya. Jaka hanya bisa pasrah menerima tamparan itu sebagai konsekuensi atas pelecehan seksual yang dilakukannya ke Wati.

Meski sudah meluapkan emosinya, Wati tak memungkiri hingga saat ini masih mengalami trauma. Dia merasa lingkungan di sekitarnya tak aman. Menjaga jarak dari kerumunan yang dominan lelaki.

"Sampai sekarang kalau ada anak cowok, nggak berani duduk dekatan, masih takut. Kadang gemeteran, nahan sedih. Tapi sebisa mungkin nahan ngendaliin diri di depan orang banyak," bebernya.

Untuk bercerita kepada SuaraJakarta.id soal pengalaman buruknya itu pun Wati harus memberi waktu. Dia menimang dampak baik dan buruknya jika peristiwa pelecehan seksual yang dialaminya itu termuat menjadi berita di media.

Tetapi seiring itu, Wati meyakinkan diri untuk bercerita, berharap pengalamannya menjadi pelajaran dan mengajak semua korban pelecehan seksual untuk berani mengungkap kebenaran.

Baca Juga: Banyak Kasus Pelecehan, Nova Eliza Gelisah RUU PKS Belum Disahkan

"Setelah menjadi korban baru tahu, sesakit ini dilecehkan. Satu sisi pengen mencari keadilan dan satu sisi banyak sekali ketakutan. Terutama sanksi sosial dan pandangan negatif dari sekitar setelahnya," pungkasnya.

Kontributor : Wivy Hikmatullah

Load More