Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah
Jum'at, 15 April 2022 | 08:05 WIB
Zaenal Abidin, santri tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), tengah membaca Al Quran dengan mushaf braile. [Suara.com/Wivy Hikmatullah]

SuaraJakarta.id - Kelainan saraf mata membuat Zaenal terpaksa harus kehilangan penglihatannya dan menjadi tunanetra. Sempat terpuruk, Zaenal kini bersyukur keterbatasan itu justru mendorongnya menjadi tahfidz Quran.

Nama lengkapnya Zaenal Abidin, usianya masih remaja 17 tahun, anak kedua dari tiga bersaudara. Sang ayah sehari-hari bekerja sebagai montir bengkel dan ibunya hanya ibu rumah tangga.

Mereka tinggal di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang. Zaenal merupakan satu dari puluhan tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin, Kota Tangerang Selatan (Tangsel).

Zaenal masih tak menyangka akhirnya menjadi tunanetra. Padahal sejak lahir, dia memiliki penglihatan yang normal bahkan hingga masa sekolah di bangku sekolah dasar (SD).

Baca Juga: Tadarus Ramadhan, Cerita Tunanetra Baca Al Quran di Ponpes ABK KH Ahmad Dahlan

Penglihatannya dirasa mulai memudar sejak kelas 7 SMP. Saat itu, Zaenal menduga hanya sakit mata biasa. Tetapi, saat melakukan pemeriksaan di rumah sakit ternyata terdapat kelainan saraf di kedua matanya.

"Sebelumnya saya belum tunanetra, sampai kelas 7 SMP masih bisa lihat, tulis, baca dan main HP. Bahkan kelas 6 sempat naik motor. Terus pas kelas 7 di pesantren, penglihatan saya sudah mulai buram, melihat buku sudah nggak jelas lagi," kata Zaenal bercerita.

Zaenal kemudian mulai menjalani pengobatan di RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 2018. Tetapi, tiga bulan kemudian tak kunjung ada perubahan. Bahkan, Zaenal disarankan harus menjalani operasi.

"Kata dokter memang ada kelainan. Sempat ditawari operasi, tapi enggak usah aja," kata Zaenal sambil menolak tawaran operasi.

Zaenal memiliki alasan sendiri mengapa menolak menjalani operasi. Dia khawatir, pasca operasi penglihatannya akan gelap total.

Baca Juga: Mengintip Proses Pembuatan Al-Quran Akbar di Wonosobo, Ditulis Manual Hingga Tahunan, Begini Kisahnya

Sementara saat ini, Zaenal masih dapat membedakan ruangan gelap dan terang meski penglihatannya kabur.

"Karena saya takut kalau dioperasi malah tambah parah, karena sekarang masih punya sedikit terang. Saya takut kalau dioperasi malah gelap total. Sekarang masih ada sisa sedikit terang, tapi kalau melihat objek itu sudah nggak jelas," ungkapnya.

Para santri tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), tengah membaca Al Quran dengan mushaf braile. [Suara.com/Wivy Hikmatullah]

Zaenal sempat terpuruk mengetahui tak lagi dapat melihat secara jelas alam dan sekitarnya melalui matanya. Terlebih di usianya yang beranjak remaja dan fase puber.

"Sedih pasti, apalagi kan saat itu di massa 14-15 tahun masanya puber menjelang dewasa. Makanya sempat saya rasa kenapa saya kok begini. Saya pengen kayak orang-orang, bisa main, melihat, saya sempat menyesal sama keadaan," kenang Zaenal saat terpuruk.

Beruntung, Zaenal mendapat dukungan dari sekelilingnya. Keluarga, guru dan sebagian temannya menyemangati agar Zaenal tak putus asa.

Meski sebagian teman lainnya mulai menjauh. Perlahan kondisi itu mulai diterima. Dia meyakini semua sudah menjadi takdir Allah SWT.

"Karena dorongan dari orangtua, guru dan teman-teman tetap support. Ada sebagian teman yang tadinya main bareng tapi setelah kondisi saya kayak gini sudah nggak lagi. Ya saya tetap yakin mungkin ini sudah qodarullah, takdir saya buat menjadi tunanetra," katanya teguhnya.

Hafal 5 Juz Al Quran

Zaenal kemudian memutuskan masuk dan melanjutkan belajar di Pesantren Tunanetra Raudlatul Makfufin Serpong, Tangsel, pada 2019. Dia mulai belajar membaca dan belajar pengetahuan umum dengan huruf braile.

Zaenal Abidin, santri tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), tengah membaca Al Quran dengan mushaf braile. [Suara.com/Wivy Hikmatullah]

Semula dirasa tidak mudah. Zaenal membutuhkan waktu tiga bulan untuk adaptasi, terbiasa dan menghafal huruf braile terutama untuk mengaji. Dengan tekad kuat, Zaenal akhirnya mampu membaca huruf braile baik tulisan latin maupun arab.

Kini hampir empat tahun jadi santri di pesantren khusus tunanetra, Zaenal menjadi tahfidz Quran. Dengan kondisinya yang terbatas secara penglihatan, Zaenal sudah mampu menghafal lima juz Al Quran.

Capaian itu membuatnya semakin bersemangat menghafal Al Quran meski dari mushaf Al Quran braile.

Zaenal kini bersyukur dirinya menjadi tunanetra yang dijadikan motivasi utama untuk menghafal Al Quran.

"Saya berusaha buat belajar di sini. Alhamdulillah sekarang sudah hafal 5 juz. Sebelum masuk sini juz 30 aja saya enggak hafal. Sekarang 5 juz Alhamdulillah, dari juzz 30, 1, 2, 3 dan 4. Sekarang Alhamdulillah udah masuk juz kelima," ucapnya seraya bersyukur.

"Ada rasa senang, bahagia. Ternyata nggak sia-sia, mungkin ini sudah takdir Allah saya harus bisa menghafal Al Quran. Mungkin kalau saya masih bisa melihat enggak tahu gimana di luar sana, juz 30 aja belum tentu hafal. Saya mengambil hikmahnya sekarang bersyukur banget saya di sini bisa menghafal, mungkin ini rencana Allah yang ditakdirkan buat saya," sambungnya sambil tersenyum.

Melek Teknologi

Meski tunanetra, Zaenal tetap melek dengan teknologi. Tak mudah memang, karena dia butuh waktu beradaptasi menghafal setiap posisi huruf pada keyboard dibantu dengan aplikasi scan reader.

Selain mampu menjadi tahfidz Quran, Zaenal juga kini terbiasa mengoperasikan laptop dan HP.

Zaenal Abidin, santri tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), tengah mengoperasikan laptop. [Suara.com/Wivy Hikmatullah]

Sesekali, Zaenal bahkan masih bisa bertukar kabar dengan teman-temannya. Bahkan, setiap hari Zaenal mengoperasikan laptop miliknya.

Kisah Zaenal—santri tunanetra—tentu bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita yang masih dapat melihat jelas dengan mata normal. Motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan semakin bertakwa seraya bersyukur.

Kontributor : Wivy Hikmatullah

Load More