Lalu era saat ini, muncul para anak muda Citayam dan anak pinggiran ibu kota lainnya membawa tren baru yang menyesuaikan dengan kelas ekonomi sosial mereka. Yakni dengan berpakaian aneh, nyentrik, kontras dan mencolok di publik.
"Ketika anak-anak Citayam, Ciputat dan pinggiran hadir ke Jakarta dengan sosok, ciri dan identitas mereka dengan outfit yang nyentrik, menjadi kontradiksi dengan anak-anak Jakarta yang outfit-nya mewah, branded, yang khas. Dan dengan keunikan yang diproduksi oleh cara berpikir mereka (anak Citayam—red), cara penampilan mereka dan mereka melakukan perlawanan terhadap kemapanan yang sudah lama berkembang di Jakarta," papar Rakhmat.
"Mereka itu ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa, dengan harga outfit yang sekian, nyentrik, aneh dan punya spot catwalk di pinggir jalan atau di trotoar. Kalau misalnya orang elite atas punya etalase catwalk-nya di mall, tapi anak-anak itu catwalk-nya di jalanan. Mereka berangkat dari Citayam, Depok dan pinggiran lainnya dengan hanya modal Rp 10 ribu bisa ke Jakarta buat beli minuman es teh manis atau kopi dan itu cara perlawanan mereka. Perlawanan struktural dari anak-anak pinggiran Jakarta," sambung Rakhmat.
Kedua, kata Rakhmat, munculnya tren Citayam Fashion week menjadi kritikan bagi pemerintah penyangga Kota Jakarta. Para anak pinggiran Jakarta itu datang ke kawasan elite SCBD untuk menunjukkan eksistensi dan tuntutan mereka akan kebutuhan ruang publik untuk bersosial dan berekspresi.
"Kebetulan saya tinggal di daerah Sawangan berbatasan dengan Bojong dan Citayam. Saya sering naik kereta ke kampus melewati kampung Citayam. Jadi saya tahu betul anak-anak yang sering nongkrong, sering nyentrik. Nah jadi ini cara mereka menegur, mengkritik terhadap negara. Karena negara tidak menyediakan ruang publik bagi mereka. Negara tidak menyediakan ruang sosial mereka berekspresi dan akhirnya mereka memilih ke Jakarta," paparnya.
"Jadi saya melihat dua itu. Pertama sebagai ekspresi perlawanan mereka dan kedua bentuk kritik terhadap pemerintah daerah penyangga karena dianggap gagal mengakomodir ruang ekspresi bagi anak-anak muda itu. Pilihannya yang murah meriah adalah pergi ke Jakarta. Apa bentuk kegagalan pemerintah lokal menyediakan ruang berekspresi itu? Ya mereka nggak ada tempat berekspresi anak-anak muda nongkrong, taman, untuk main skateboard, pertunjukkan seni musik, itu nggak ada. Karena itu dianggap nggak penting buat pemerintah di daerah penyangga itu," pungkas Rakhmat.
Kontributor : Wivy Hikmatullah
Berita Terkait
Terpopuler
- Siapa Pencipta Sound Horeg? Ini Sosok Edi Sound yang Dijuluki Thomas Alva Edisound dari Jawa Timur
- Jelang Ronde Keempat, Kluivert Justru Dikabarkan Gabung Olympique Lyon
- Duel Mobil Murah Honda Brio vs BYD Atto 1, Beda Rp30 Jutaan tapi ...
- Harga Mitsubishi Destinator Resmi Diumumkan! 5 Mobil Ini Langsung Panik?
- 41 Kode Redeem FF Max Terbaru 24 Juli: Klaim Skin Scar, M1887, dan Hadiah EVOS
Pilihan
-
5 Rekomendasi HP 5G Xiaomi di Bawah Rp 4 Juta, Harga Murah Spek Melimpah
-
Kisah Unik Reinkarnasi di Novel Life and Death are Wearing Me Out
-
10 Model Gelang Emas 24 Karat yang Cocok untuk Pergelangan Tangan Gemuk
-
Selamat Tinggal Samba? Ini Alasan Gen Z Beralih ke Adidas Campus 00s & Forum Low
-
Braakk! Bus Persib Bandung Kecelakaan di Thailand, Pecahan Kaca Berserakan
Terkini
-
HIPMI Jaya Gelar Rakerda, Perkuat Sinergi Pengusaha Muda Dukung Pembangunan Jakarta
-
7 Rekomendasi Parfum Dewasa dengan Aroma Bayi yang Lembut dan Tahan Lama
-
Rahasia Manfaat Air Mawar Viva Tetap Jadi Pilihan Wanita Indonesia dari Berbagai Generasi
-
6 Rangkaian Produk Mustika Ratu untuk Aktivitas Outdoor Seharian
-
Transaksi QRIS Antar Negara via Livin by Mandiri Tumbuh 3 Kali Lipat, Mudahkan Nasabah