Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah
Senin, 29 Agustus 2022 | 23:00 WIB
Puluhan rumah semi permanen terbakar di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (21/8/2022). (Suara.com/Faqih)

SuaraJakarta.id - Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Keselamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta mencatat selama lima tahun terakhir (2018-2022) kebakaran di Jakarta sudah terjadi 8.004 kejadian.

Terbanyak terjadi pada 2019 dengan jumlah 2.161 kejadian, 2018 sebanyak 1.751, 2021 sebanyak 1.532, 2020 sebanyak 1.501 dan 2022 sebanyak 1.059.

Untuk penyebab kebakaran selama lima tahun terakhir, dari 8.004 kebakaran, yang disebabkan korsleting listrik atau arus pendek sebanyak 4.829 kejadian (60 persen). Kemudian karena penyebab lainnya sebanyak 1.180 kejadian (14 persen).

Sedangkan akibat membakar sampah sebanyak 859 kejadian (10,7 persen), gas sebanyak 804 kejadian (10,4 persen), rokok sebanyak 295 kejadian (3 persen) dan akibat lilin sebanyak 37 kejadian (0,4 persen).

Baca Juga: 80 Persen Hidran di Jakarta Berfungsi, Namun Terkendala Tekanan Air

"Kalau dilihat dari tren kebakaran selama lima tahun terakhir ini memang rata-rata itu penyebabnya arus pendek (korsleting), frekuensinya sekitar 60-70 persen kebakaran yang terjadi," kata Kepala Dinas Gulkarmat DKI Jakarta, Satriadi, Senin (29/8/2022).

Korsleting itu, menurut Satriadi, bisa terjadi lantaran banyak warga yang masih menggunakan listrik dengan instalasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Selain itu kualitas peralatannya juga tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Kalau kita pernah buat kajian, kita lihat banyak juga masyarakat yang instalasinya tidak sesuai, kemudian ada juga yang bisa dibilang nyolong listrik, alatnya tidak sesuai ketentuan," katanya.

Hal tersebut makin menambah bahaya kebakaran, karena padatnya Jakarta oleh hunian dan bangunan yang berdempetan sehingga akhirnya api akan cepat merembet.

Baca Juga: 70 Persen Kebakaran di Jakarta Akibat Korsleting Listrik

"Kita tahu juga kondisi Jakarta rata-rata banyak yang padat hunian, rumahnya rapat-rapat kemudian bangunannya juga semi permanen. Perambatannya cepat sekali gitu kan," katanya.

Aktivitas ekonomi di DKI Jakarta sangat tinggi dengan kondisi perumahan serta permukiman yang horizontal dan tidak vertikal.

"Berbeda dengan luar negeri yang vertikal seperti apartemen sehingga proteksi kebakarannya lebih terkendali," tuturnya.

Ia juga menambahkan, bangunan terutama gedung-gedung yang dibangun seharusnya memiliki instalasi kelistrikan sesuai sertifikasi Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI).

Dari segi instalasinya untuk mengurus IMB seharusnya seperti itu. Baru PLN menyalurkan arusnya.

"Tapi faktanya kan banyak bangunan yang belum memenuhi persyaratan itu," katanya.

Demi meminimalkan kemungkinan kebakaran, dia mengimbau warga kembali mengecek kembali instalasi listrik di rumah masing-masing agar dipastikan sudah sesuai degan ketentuan kelistrikan yang berlaku.

"Peralatannya juga apakah memenuhi standar yang ditentukan, yakni SNI. Hindari beli peralatan yang tidak sesuai," katanya.

Menurut dia, masih banyak peralatan yang harga murah tetapi kualitasnya diragukan dan tidak standar.

"Karena kita tahu juga banyak peralatan kelistrikan yang dijual di pasar malam yang Rp10 ribu dapat 3, yang kita nggak tahu standarnya seperti apa?” katanya. [Antara]

Load More