Kalaupun harus memakai sepatu boots, itu hanya selingan. Para warga yang bermukim di RW 03 lebih sering berjibaku membersihkan lumpur dengan kaki telanjang.
"Bakteri dari mana-mana, kami bersihin sisa banjir enggak pakai apa-apa. Paling kalau ada bantuan baru pakai sepatu boots. Kalau enggak mah nyeker, gatel-gatel. Bakteri pada nempel," lanjut dia.
Saat banjir, Kali Ciliwung kerap menyisakan sampah di lingkungan tempat tinggal Era.
Sampahnya beragam, mulai dari plastik, puing-puing bangunan, bangkai tikus, hingga bangkai kambing.
Baca Juga:BPBD: Ada 40 Kampung di Bogor Terdampak Bencana Longsor dan Banjir
"Kadang ada bangkai tikus, pernah juga ada bangkai kambing," sambungnya.
Dan Banjir, Makin Akrab
Menyelami banjir lebih nikmat ketimbang memotret harga rumah. Kenyataan seperti itu harus dijalani Era beserta keluarga.
Keinginan untuk pindah ke kawasan lain, yang lebih aman dari banjir, sudah Era kubur dalam-dalam. Menurut dia, pindah rumah bukan sekedar pindah. Ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan. Paling penting adalah uang.
Ketimbang ngontak di tempat lain, Era memilih bertahan di rumahnya saat ini. Rumah yang menjadi pelabuhannya sejak masa kanak-kanak. Rumah warisan dari orang tuanya. Rumah yang makin mengakrabkan Era dengan satu kenyataan: banjir.
Baca Juga:Curhat Warga Cawang, Jakarta Timur soal Banjir Semalam
"Ya gimana, sudah makanan sehari-hari juga. Mau pindah, tapi ke mana? Duitnya dari mana? Pindah rumah kan pakai duit. Ngontrak juga bayar. Ini rumah yang saya tinggalin warisan dari orang tua," tutup dia.