SuaraJakarta.id - Terletak di Selat Sunda dan berada diantara gugusan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera membuat posisi Pulau Sangiang, Banten, sangat rawan bagi musuh untuk masuk.
Tak heran, saat masa penjajahan, Jepang pun mendirikan pangkalan militer di pulau yang memiliki luas kurang lebih 700,35 Hektare tersebut.
Saat menjajah Indonesia, Jepang memang berkonsentrasi mendirikan pangkalan-pangkalan militer di wilayah Banten.
Seperti halnya Anyer sebagai pangkalan angkatan laut, Pulau Sangiang dijadikan sebagai pertahanan laut terdepan oleh armada laut militer Jepang.
Baca Juga:DPR Pastikan Tak Ada Pangkalan Militer Asing di RI
Dikutip dari BPCB Banten, Sabtu (3/10/2020), secara administratif masuk wilayah Desa Cikoneng, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.
Menurut cerita setempat masyarakat setempat, Pulau Sangiang sudah dihuni sekitar abad ke 19.
Saat itu Raja Lampung menghibahkan Pulau Sangiang kepada warga agar ditempati.
Menjelang Perang Dunia II, ketika masa Pendudukan Jepang (1942-1945), Jepang membangun pos pengamanan di Pulau Sangiang yang dilengkapi rel besi untuk dilewati kapal perang amfibi mereka.
Ada sejumlah peninggalan saat masa pendudukan Jepang di Pulau Sangiang. Antara lain bungker, bangunan, dan helipad.
Baca Juga:Bantah AS, Menlu Retno: Tak Ada Pangkalan Militer China di Indonesia
Sampai saat ini bungker tersebut bisa disaksikan berikut meriam pertahanannya. Bisa dikatakan kondisinya masih dalam keadaan baik.
Sesuai fungsinya sebagai perlindungan dan pertahanan, kebanyakan bungker-bungker tersebut terletak mendekati pantai mengarah ke Selat Sunda. Tercatat ada delapan bungker di Pulau Sangiang.
Ditilik dari fungsinya, empat bungker sebagai pertahanan, tiga bungker lebih mirip sebagai tempat perlindungan tentara, dan satu bungker merupakan tempat pengintaian.
Tinggalan lain adalah bangunan yang diduga dipakai sebagai barak tentara. Saat ini keseluruhan bangunan-bangunan tersebut dalam kondisi belum terawat dan tidak dimanfaatkan.
Disebut barak tentara karena lokasinya berada di dekat bungker dan denah serta komponen bangunan mengarah ke fungsi tersebut.
Jika dilihat dari arsitektur bangunannya lebih mengarah kepada bangunan Belanda. Hal ini diperkuat dengan adanya tulisan Steenbakkerij Tangeran dan adanya genting press.
Keseluruhan bangunan berjumlah sembilan buah dengan tujuh buah bangunan terkonsentrasi di sisi selatan pulau dan dua buah bangunan di sisi utara pulau.
Tinggalan arkeologis berikutnya adalah bekas helipad. Kondisinya saat ini tertutup oleh rumput dan pepohonan.
Helipad yang ada berjumlah dua titik, yakni di daratan Pulau Sangiang sisi barat dan utara.
Di Pulau Sangiang ini juga ditemukan sebuah prasasti dengan huruf kanji pada sebuah batu.
Menurut seorang arkeolog Jepang, prasasti itu berbunyi "Genjumin romusha no hi".
Artinya kurang lebih hari peringatan untuk pekerja kasar pribumi.
Jika dikaitkan dengan aktivitas Jepang pada masa itu dapat berarti prasasti itu merupakan sebuah peringatan untuk para pekerja paksa (romusha) yang didatangkan oleh Jepang ke Pulau Sangiang Banten dalam rangka pembuatan bungker-bungker tersebut.