SuaraJakarta.id - Tri Rismaharini atau Risma sejak menjadi Menteri Sosial atau Mensos sering ke kolong jembatan untuk bertemu para tunawisma sampai gelandangan. Sampai-sampai Risma malah dikira kepala dinas sosial DKI karena tugasnya mengambil peran kadinsos.
Padahal tugas Risma sebagai mensos lebih besar, seperti menelurkan berbagai policy, menyelenggarakan urusan jaminan sosial, pemberdayaan sosial, sampai perlindungan sosial.
Berbeda, Risma malah rajin menyatroni tempat-tempat kumuh, bantaran sungai, untuk bertemu pemulung, dan gelandangan. Lalu menawarkan bantuan tempat tinggal dan pekerjaan pada mereka. Sebut saja para istri pemulung yang ditawari untuk beralih jadi pedagang pecel lele.
Kolumnis Hersubeno Arief melemparkan pandangannya. Kata dia, wajar jika kemudian aksi Risma disorot publik, karena dianggap cukup menarik dan menyita perhatian media massa.
Baca Juga:Video Mensos Risma Tak Terapkan Prokes, Publik: Bakal Kena Sanksi Nggak?
“Tapi belakangan dia justru dipertanyakan banyak netizen, karena Mensos rasa Kepala Dinas DKI. Sindiran ini bahkan bukan hanya dilakukan para netizen alay, sebab juga disampaikan inteletual NU, Kyai Muhammad Cholil Nafis.”
“Apakah Risma itu Mensos atau dia Kepala Dinas Sosial DKI?” katanya.
Adapun tingkahnya belakangan yang kerap dipertontonkan ke publik dianggap beralasan. Pertama, karena kemungkinan dia memang lebih nyaman jadi wali kota.
Menurut Hersubeno, hal ini terlihat saat dia baru dilantik menjadi Mensos. Ketika itu alasannya mau rangkap jabatan menjadi Wali Kota Surabaya cukup unik. Yakni karena ingin sekali meresmikan salah satu jembatan di Surabaya yang ada air mancurnya.
“Sayang kalau saya enggak resmikan itu. Lalu ada (peresmian) museum olahraga, di situ ada jersey Rudi Hartono, raket Alan Budi, saya ingin resmikan itu untuk anak-anak Surabaya,” kata Risma ketika itu.
Baca Juga:10 Wali Kota Top Person & Top Influencer Dalam Isu Covid-19, Nomor 1 Risma
Kata Hersubeno, ini menunjukkan jika level Risma hanya sebatas level kepala daerah. Karena lebih banyak ingin menampilkan aksi ketimbang mengeluarkan kebijakan yang saat ini dibutuhkan oleh seorang Mensos.
Alasan kedua, kata dia, tentu ada rencana di balik pengangkatan Risma menjadi orang nomor satu di Kemensos. Hal ini tak lain berkaitan dengan kontestasi 2024 atau Pilkada DKI beberapa tahun mendatang.
Menurut Hersubeno, Risma seolah dicoba oleh Megawati untuk tes pasar. Apabila namanya mencuat, bisa jadi masuk dalam bursa Pilpres. Sementara kalau tidak begitu tinggi, akan dipersiapkan untuk masuk ke pusaran Pilkada DKI.
Target politik ini setidaknya dikira pas, karena Risma dianggap tak cocok apabila ditempatkan bertarung di Pilkada Jatim ke depan. Sebab di sana kewenangan gubernur tidak penuh. Sementara DKI sangat penuh, dan cocok untuk seorang Risma.
“Risma memang cocoknya pimpin wilayah seperti DKI. Nah untuk dongkrak populartitasnya, termasuk Pilpres 2024, dia punya waktu 3 tahun. Apalagi didukung resources dari Kemensos, lalu pengerahan media-media, dan dibantu branding lembaga survei. Jadi sebenarnya posisi Risma sangat strategis,” katanya.
Akan tetapi jika PDIP memiliki calon lain, maka Risma memang akan diplot ke depan untuk merebut kursi DKI 1 dari tangan Anies Baswedan.
“Seperti kita tahu, selama ini Anies jujur sangat mengganggu suasana batin PDIP. Seolah ada matahari kembar dengan di Istana. Maka akan sempurna penguasaan PDIP jika presiden direbut dan kursi gubernur DKI juga direbut,” katanya.