SuaraJakarta.id - Tanggal 14 Januari 2016, sebuah bom bunuh diri meledak di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Bom Thamrin 2016 itu menyebabkan puluhan orang terluka. Salah satunya Andi Dina Noviana Rivani.
Dampak dari ledakan bom Thamrin lima tahun lalu itu masih membekas sampai sekarang di tubuh Dina. Pendengarannya menurun. Tangannya sudah tidak dapat mengangkat beban yang berat.
Dan kedua kakinya sudah tidak mampu menopang tubuh Dina untuk berjalan jauh. Fisiknya jauh menurun setelah jadi korban ledakan bom Thamrin 2016 silam, meski secara psikis Dina sudah jauh lebih baik.
Hal itu disampaikan Dina saat menjadi narasumber di acara short course daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang digelar Aliansi Indonesia Damai (AIDA) secara virtual, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:Kisah Korban Bom Teroris Jakarta dan Surabaya : Marah dan Luka, Tapi Mau Memaafkan
"Sekarang dampaknya terasa sekali. Jalan yang tadinya bisa sampai 5 kilometer, sekarang cuma 3 kilometer saja," kata Dina.
Air mata Dina tak terbendung saat menceritakan kisah kelamnya ini. Sesekali suaranya terdengar berubah menjadi berat. Dina masih belum melupakan memori kelam bom Thamrin itu meski sudah lima tahun berlalu.
Meski demikian, Dina tetap tegar dan bersyukur kepada Allah SWT. Sebab doanya untuk bisa tidur dengan nyenyak setelah berdamai dengan rasa trauma yang selalu menghantui setiap malam, telah dikabulkan Allah SWT.
"Saya berdoa. Saya minta sama Allah, kasih saya tidur walau cuma satu hari. Karena saya sudah ketakutan, telinga berdengung terus. Badan panas seperti terbakar," jelas Dina.
Dina lahir di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Saat jadi korban ledakan bom Thamrin, Dina bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta.
Baca Juga:Bali Jadi Kota Mati, Pandemi Covid-19 Lebih Dahsyat dari Bom Bali
Saat itu, Dina berada di luar kantor. Tepatnya di sekitar kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Dia tidak tahu bahwa tempat yang didatanginya waktu itu sangat berbahaya.
Ledakan bom yang dilakukan oleh teroris berlangsung sangat cepat. Dina yang berada di sekitar lokasi langsung jatuh pingsan.
"Cepat sekali kejadiannya. Pokoknya setelah saya sadar, saya sudah tertimpa plafon dan segala macam," ungkap Dina.
Awalnya Dina tidak mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya dan membuat tempat tersebut hancur. Dia mengira ledakan yang terjadi di lokasi itu dipicu oleh tabung gas.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Dina bangkit dan berusaha keluar dari tempat tersebut. Usahanya berhasil setelah dia loncat keluar melalui pintu jendela yang menghadap langsung ke Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Dengan ketinggian dua meter.
Sialnya, jendela yang diloncati Dina tersebut di bawahnya ternyata telah dipenuhi serpihan kaca akibat ledakan bom.
"Ternyata sudah banyak serpihan kaca. Jadi saya berada di atas serpihan kaca seperti berenang. Ledakan yang saya tahu ada dua kali," kata dia.
Setelah berada di luar, Dina mengaku tidak merasa kesakitan. Padahal, tubuhnya telah dipenuhi dengan darah.
Semua itu baru Dina ketahui setelah ada warga yang menegur dan ingin menolongnya ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan medis.
Dina mengalami luka yang cukup serius. Pundak sebelah kirinya harus dijahit agar tidak terus mengeluarkan darah akibat tersayat sepihan kaca.
Kaki dan tangannya juga ikut luka. Belum lagi telinga sebelah kiri Dina yang sudah tidak normal karena pendengarannya menurun.
Selama dirawat, Dina sempat ingin dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas kesehatan yang lebih mumpuni. Namun, dia menolaknya.
"Saya mau dirujuk tapi saya bersikeras untuk pulang ke rumah. Karena saya pikir tempat yang paling aman itu di rumah," ujar Dina.
Untuk mengobati rasa traumanya, Dina dibantu oleh dokter psikiater dengan cara berobat jalan. Setiap hari Dina harus rutin mengkonsumsi berbagai macam obat penenang.
Penyebabnya, karena rasa trauma yang dialami membuat Dina sulit tidur dengan nyenyak selama tiga bulan lamanya.
"Harus minum empat macam obat penenang. Setiap malam, kerja saya cuma teriak. Ketakutan karena trauma," jelas Dina.
"Bagaimana menghadapi trauma? Saya dibantu psikiater atau psikolog karena psikis saya yang betul-betul dihajar. Psikiater bilang proses pengobatan saya cukup cepat karena cuma delapan bulan dan akhirnya saya berhenti minum obat," katanya.
Biaya rumah sakit diberikan secara gratis selama Dina berobat. Selain itu, Dina juga mendapatkan kompensasi. Semua ini diberikan pemerintah kepada para korban ledakan bom.
"Negara juga memperhatikan. Dengan biaya kompensasi dan rumah sakit," tutur Dina.
Dina mengaku merasa marah dan kesal dengan pelaku teroris tersebut yang telah membuat dirinya menderita. Namun, dia juga menyalahkan dirinya karena datang ke tempat itu saat bom diledakkan.
Dimasa-masa sulit itulah Dina pernah ingin mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri akibat musibah yang menimpanya.
"Jujur saya pernah mencoba bunuh diri," beber Dina.
Hingga suatu hari, Dina pun sadar bahwa apa yang telah terjadi pada dirinya semuanya telah diatur oleh sang Maha Pencipta.
Karena itu, Dina memilih berdamai dengan dirinya sendiri dan juga berdamai dengan peristiwa ledakan bom.
"Saya sadar bahwa kejadian saat itu pasti ada hikmahnya dan obat sesungguhnya adalah diri kita sendiri," ujar Dina.
Dina bisa bercerita ke publik terkait peristiwa bom Thamrin yang dialaminya, setelah lima bulan menjalani perawatan.
Satu minggu setelah kejadian, dia pernah diundang di salah satu program televisi. Kondisi tubuhnya gemetar dan ketakutan.
"Waktu itu kondisi saya masih gemetar. Saya harus didorong-dorong," ucap Dina.
Rasa trauma yang selalu menghantui berhasil ditaklukkan setelah Dina berjuang dengan keras untuk memaafkan pelaku teroris yang meledakan bom tersebut.
Dina mengucapkan rasa terima kasih kepada para pelaku karena berkat mereka, dia bisa menjadi lebih kuat sampai sekarang.
"Saya memaafkan pelaku walaupun susah. Untuk bisa menjalani hidup sampai sekarang. Saya tidak dendam dengan mereka karena itu beban dan saya tidak mau bawa beban. Prinsipnya, memaafkan adalah obat yang paling mujarab," tutur dia.
Saat berkunjung di Kota Makassar, terjadi ledakan bom di depan pintu gerbang Gereja Katedral, Makassar pada Minggu 28 Maret 2021. Hal itu pun kembali membuat Dina ketakutan. Meski Dina berada jauh dari lokasi ledakan.
"Ke Makassar kemarin terjadi lagi ledakan. Jadi saya teringat lagi. Saya harap saya yang terakhir jadi korban karena mungkin luka fisik bisa terobati tapi kalau luka trauma agak susah sembuhnya," kata dia.