SuaraJakarta.id - Kapolres Tangerang Selatan AKBP Sarly Sollu dilaporkan ke Propam Mabes Polri lantaran diduga melanggar kode etik dan tidak profesional. Sarlly juga dianggap menghalangi putusan yang sudah ditetapkan pengadilan.
Pelaporan itu buntut dari aksi Kapolres Tangsel AKBP Sarly Sollu menghentikan proses eksekusi sebuah rumah di Serpong pada 9 Maret 2022 lalu. Aksinya itu bahkan sempat viral.
Sarlly saat itu meminta tim juru sita dari pengadilan untuk menghentikan dan memberi waktu sementara agar penghuni rumah dibiarkan tinggal sementara. Ini lantaran penghuni rumah dikabarkan tengah menjalani isolasi mandiri akibat Covid-19 di dalam rumah.
Kuasa hukum pemilik rumah, Swardi Aritonang menerangkan, pihaknya heran dengan aksi yang dilakukan Kapolres Tangsel menghentikan proses eksekusi. Pasalnya, sehari sebelumnya pihaknya sudah melakukan dua kali rapat koordinasi dengan putusan tetap dilaksanakan eksekusi.
Sementara penghuni rumah yang isoman akan dibawa ke tempat lain untuk menjalani isoman.
"Padahal awalnya menurut kami, kalau soal isoman itu sudah dibahas pada rakor di hari sebelum eksekusi bahkan sampai dua kali. Biasanya hanya satu kali, ini sampai dua kali untuk pengamanan. Hasil rakor itu diputuskan eksekusi dilanjutkan dengan prokes, disiapkan tim medis ambulans, APD dan dokter," katanya saat dihubungi SuaraJakarta.id, Kamis (24/3/2022).
Swardi menuturkan, pihak medis yang ada sempat melakukan tes swab dan hasilnya satu pembantu di rumah tersebut dinyatakan positif Covid-19. Namun, kata Swardi, anehnya sang majikan kemudian mengurung diri di dalam kamar.
Dalam kondisi itu, lanjut Swardi, tak ada satu pun polisi yang berupaya membujuk agar mau keluar dari kamar sehingga bisa dilakukan eksekusi atau pengosongan rumah.
"Saya melihat karena polisi nggak mau bergegas mengetuk pintu, menurut saya sih kalau profesional harus ditegaskan di tempat agar tidak ada dusta diantara kita. Kalau Covid-19 juga benar gitu loh, kan ada tim medis. Nah akhirnya karena termohon nggak mau, pengadilan akhirnya memerintahkan panitera untuk dibacakan penetapan. Setelah diperintahkan mulai lah perintah pengosongan, diangkutin barang-barang," tutur Swardi.
Baca Juga:Web Akpol Diretas Jadi Situs Judi Online, Peran HP yang Diduga Terlibat Jaringan ISIS
Aksi pengosongan paksa itu kemudian dihadang oleh warga sekitar sehingga terjadi adu mulut dan tarik-menarik antara warga dengan petugas yang melakukan pengosongan.
Dalam situasi tegang itu, Kapolres Tangsel AKBP Sarly Sollu kemudian turun tangan. Dia berkomunikasi dengan Swardi untuk menghentikan sementara eksekusi dan mengatakan akan menarik mundur pasukan jika permintaannya tak dipenuhi. Bahkan Sarlly sempat menanyakan soal wewenang eksekusi yang sebetulnya sudah dibacakan penetapannya di pengadilan.
"Tiba-tiba datanglah Kapolres ke lokasi, saya dipanggil dari dalam. Kami mengobrol diskusi, saya jelaskan ini berita penetapan sudah dibacakan. Secara hukum klien kami sudah harus menerima supaya ada kepastian hukumnya. Saya jelasin begitu. Kapolres langsung menanyakan ini atas perintah siapa? Kok menanyakan perintah siapa. Ini kan putusan pengadilan, nggak tepat ditanyakan begitu. Yang melaksanakan Pengadilan jadi tidak ada yang diperintahkan," beber Swardi.
"Di situ banyak pernyataan Pak Kapolres sampai bilang 'saya tidak membela perbuatan melawan hukum, terus saya secara nurani berilah kesempatan kalau keluargamu digituin gimana?'. Menurut saya ini pernyataan tidak relevan dan tidak profesional. Saya bilang kan ini Pak Kapolres tidak ada wewenang untuk menunda eksekusi. Kita sudah berjuang panjang kalau hari ini digagalkan dengan tanpa ada alasan yang jelas menurut kita dan nggak ada kepentingan, biaya habis. Sudah gitu dia nyalah-nyalahin datang ke lokasi. Sudah gitu alasan penundaan tidak jelas," sambung Swardi.
Akhir dari perdebatan itu diputuskan eksekusi ditunda hingga satu minggu sesuai permintaan Kapolres Tangsel AKBP Sarly. Menurut Swardi, permintaan itu melewati kewenangan sebagai petinggi di institusi kepolisian di wilayah.
Padahal, pihak kepolisian hanya bertugas melakukan pengamanan eksekusi. Tapi tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan proses eksekusi yang telah ditetapkan oleh pengadilan.
"Ini eksekusi tidak bisa menimbang dengan alasan kemanusiaan, tidak boleh bersikap seperti itu. Karena di sini bukan lagi ranahnya menimbang. Ini menurut saya terjadi offside melewati kewenangannya. Jadi tidak sesuai prosedural. Menimbang-nimbang saja tidak boleh. Proses eksekusi itu tidak boleh hati nurani. Kalau pidana itu polisi disuruh nembak ya nembak untuk vonis mati. Bukan nurani lagi, kepastian hukum di situ," tegasnya.
Seminggu berlalu, lanjut Swardi, tak kunjung ada kejelasan. Penghuni yang di dalam rumah pun sudah selesai isoman dan berkunjung ke kediaman pemohon yang menang pengadilan di Kebun Jeruk, Jakarta Barat.
Menurut Swardi, hingga Rabu (23/3/2022) malam, penghuni masih berada di dalam rumah yang sudah diputus pengadilan untuk dilakukan pengosongan.
Namun, kata Swardi, pihak Polres Tangsel bakal melakukan perintah pengosongan jika ada penetapan pengadilan lagi untuk kembali melakukan eksekusi. Padahal kasusnya ditutup sejak dilakukan eksekusi pada 9 Maret 2022.
"Saya sudah kasih tahu ke Pak Kapolres kalau si termohon sudah sembuh dan itu ada buktinya. Jadi gimana kelanjutannya, walaupun secara hukum Pak Kapolres tidak punya kewenangan untuk melaksanakan eksekusi. Dijawab oleh Pak Kapolres melalui WA nanti kalau ada perintah pengadilan eksekusi saya akan perintahkan kapolsek untuk mengosongkan," ungkap Swardi menyampaikan pernyataan Kapolres Tangsel.
"Saya berkoordinasi dengan pengadilan dan sudah tidak ada lagi perintah pengadilan. Bagaimana perkara sudah ditutup kok mau dibuka lagi? Kan jadi nggak ada wibawanya hukum kayak begini dibikin kayak main-main. Sudah diketok palu sudah divonis, ditunda lagi. Ini saya nggak nyangka ini bisa terjadi. Kalau penundaan eksekusi terjadi sebelum dibacakan itu bisa saja. Kalau sudah dibacakan, apapun yang terjadi harus," tambah Swardi kesal.
Atas persoalan itu, Swardi dan tim kemudian melaporkan Kapolres Tangsel AKBP Sarly Sollu ke Propam Mabes Polri soal pelanggaran kode etik pada 18 Maret 2022. Menurutnya, aksi Sarlly menghentikan eksekusi yang ditetapkan pengadilan menjadi masalah hukum baru.
"Ini jadi masalah hukum. Sekelas Kapolres ini hukum eksekusi pelaksanaan putusan harusnya beliau menegakkan hukum supaya eksekusi berjalan dengan lancar, tapi yang ada malah beliau yang menghentikan. Kami menganggap kalau ini pelanggaran kode etik. Jadi kalau di Perkap Kapolri itu kan diatur ada Perkap nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian," tekannya.
Terpisah, Kapolres Tangerang Selatan AKBP Sarly Sollu tak kunjung memberi penjelasan saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Jumat (25/3/2022). Sementara nomor teleponnya tidak aktif saat dihubungi.
Kontributor : Wivy Hikmatullah