SuaraJakarta.id - Kelainan saraf mata membuat Zaenal terpaksa harus kehilangan penglihatannya dan menjadi tunanetra. Sempat terpuruk, Zaenal kini bersyukur keterbatasan itu justru mendorongnya menjadi tahfidz Quran.
Nama lengkapnya Zaenal Abidin, usianya masih remaja 17 tahun, anak kedua dari tiga bersaudara. Sang ayah sehari-hari bekerja sebagai montir bengkel dan ibunya hanya ibu rumah tangga.
Mereka tinggal di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang. Zaenal merupakan satu dari puluhan tunanetra di Pesantren Raudlatul Makfufin, Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Zaenal masih tak menyangka akhirnya menjadi tunanetra. Padahal sejak lahir, dia memiliki penglihatan yang normal bahkan hingga masa sekolah di bangku sekolah dasar (SD).
Baca Juga:Tadarus Ramadhan, Cerita Tunanetra Baca Al Quran di Ponpes ABK KH Ahmad Dahlan
Penglihatannya dirasa mulai memudar sejak kelas 7 SMP. Saat itu, Zaenal menduga hanya sakit mata biasa. Tetapi, saat melakukan pemeriksaan di rumah sakit ternyata terdapat kelainan saraf di kedua matanya.
"Sebelumnya saya belum tunanetra, sampai kelas 7 SMP masih bisa lihat, tulis, baca dan main HP. Bahkan kelas 6 sempat naik motor. Terus pas kelas 7 di pesantren, penglihatan saya sudah mulai buram, melihat buku sudah nggak jelas lagi," kata Zaenal bercerita.
Zaenal kemudian mulai menjalani pengobatan di RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 2018. Tetapi, tiga bulan kemudian tak kunjung ada perubahan. Bahkan, Zaenal disarankan harus menjalani operasi.
"Kata dokter memang ada kelainan. Sempat ditawari operasi, tapi enggak usah aja," kata Zaenal sambil menolak tawaran operasi.
Zaenal memiliki alasan sendiri mengapa menolak menjalani operasi. Dia khawatir, pasca operasi penglihatannya akan gelap total.
Sementara saat ini, Zaenal masih dapat membedakan ruangan gelap dan terang meski penglihatannya kabur.