SuaraJakarta.id - Rekayasa aksi tembak menembak di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang menewaskan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, akhirnya terungkap setelah memakan waktu satu bulan sejak peristiwa itu terjadi, Jumat (8/7/2022).
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa (9/8/2022) malam, menegaskan bahwa tidak ada peristiwa tembak menembak seperti yang dilaporkan awal terkait kasus kematian Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.
"Timsus menemukan bahwa peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap saudara J, yang mengakibatkan saudara J meninggal dunia yang dilakukan oleh saudara RE (Richard Eliezer atau Bharada E) atas perintah saudara FS (Ferdy Sambo—red)," ucap Kapolri.
Polisi telah menetapkan empat tersangka dalam kasus penembakan Brigadir J dengan perannya masing-masing. Antara lain Irjen Ferdy Sambo, Bharada E, Bripka RR, dan KM.
Baca Juga:Apa Alasan Polisi Tidak Beberkan Motif Penembakan Brigadir J kepada Publik?
Untuk peran Bharada E, yakni melakukan penembakan terhadap Brigadir J. Bripka RR turut membantu dan menyaksikan penembakan Brigadir J. KM turut membantu dan menyaksikan penembakan terhadap korban.
"FS (Ferdy Sambo) menyuruh melakukan dan menskenario peristiwa seolah-olah terjadi tembak menembak," jelas Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Selasa (9/8) malam.
Ferdy Sambo Pelukan dengan Kapolda Metro Jaya
Menariknya, di awal kasus itu ada momen pertemuan antara Ferdy Sambo dengan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran di Mabes Polri, enam hari setelah penembakan terjadi, tepatnya Rabu (13/7/2022).
Dalam pertemuan itu, bahkan Fadil dengan Sambo sempat berpelukan. Sambo saat itu bahkan tak kuasa menahan tangis di pelukan Fadil.
Baca Juga:Frontal! Bintang Emon Bandingkan CCTV Rumahnya dengan Milik Jenderal Polisi dan Kejagung
Terkait ini, kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, pertemuan itu kini menjadi menarik setelah Ferdy Sambo ditetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
Menurutnya, pertemuan itu menunjukkan di institusi Polri ada budaya polisi seperti keluarga bahagia lantaran semua orang merupakan kakak dan adik atau umum diketahui kakak asuh dan adik asuh.
"Ini memang menarik kalau kita pakai pendekatan budaya polisi dimana melihat organisasi polisi itu seperti keluarga yang bahagia, dimana semua orang itu adalah abang dan adik," kata Adrianus kepada SuaraJakarta.id, Rabu (10/8/2022).
Dengan budaya kekeluargaan seperti itu, Adrianus menduga, semua orang di kepolisian memungkinkan sudah mengetahui kasus penembakan Brigadir J.
"Maka saya kok percaya, bahwa semua orang di Polri itu sudah tahu dengan situasi ini, sudah tahu dengan kejadian ini, termasuk juga ketika ada yang berpelukan sebetulnya itu sudah tahu sama tahu," ungkap Adrianus mengingat momen pertemuan antar petinggi Polri itu.
Meski begitu, Polri tak bisa lantas menjerat Ferdy Sambo tanpa ada saksi dan bukti yang menguatkan bahwa Sambo bertanggung jawab atas penembakan Brigadir J itu.
"Nah masalahnya kan bahwa budaya polisi itu tidak bisa dipaksa untuk menjerat orang. Saya misalnya, sebagai penyidik tidak bisa dong mengasumsikan karena mentang-mentang Fadil itu misalnya kakak asuhnya Ferdy Sambo, maka dia turut bertanggung jawab, kan kita nggak boleh begitu kan. Maka kita perlu pendekatan hukum," papar Adrianus.
Dalam aspek hukum, kata Adrianus, yang terpenting adalah bukti dan saksi. Maka itu, kemudian tak heran jika Sambo berupaya menghilangkan bukti dan menekan saksi atas penembakan Brigadir J itu.
"Di hukum itu yang penting adalah bukti dan saksi, Sambo ke mata hukum itulah yang diacak-acak kan saksi dan bukti itu," ungkapnya.
"Jadi sebetulnya semua orang di Polri sudah tahu bakal kejadian seperti ini, ya cuma untuk ngomong sampai tingkat pembuktian dan kesaksian itu yang kemudian lalu nggak ada yang mau melakukan," tambahnya.
Kontributor : Wivy Hikmatullah