Yaitu milik Frono Jiwo (No. 1115), almarhum Hari Mulyono (No. 1116), dan Sri Murtiningsih (No. 1117).
Ia mengklaim ketiga ijazah pembanding tersebut memiliki format yang identik satu sama lain.
Namun, ijazah Jokowi dengan nomor 1120 disebut memiliki sejumlah perbedaan signifikan sehingga "tidak identik" dengan ketiga pembanding tersebut.
Perbedaan mencakup detail tata letak, seperti posisi huruf pada kata "SARJANA" terhadap logo UGM.
Baca Juga:Kasus Meme Stupa Mirip Jokowi, Roy Suryo Dituntut 1 Tahun 6 Bulan Penjara
3. Kejanggalan Fatal pada Skripsi
Roy Suryo juga menyoroti dua dugaan kejanggalan fatal pada skripsi Jokowi yang dipaparkan Roy Suryo.
- Gelar Akademik Pembimbing: Terdapat kekeliruan penulisan gelar Prof. Dr. Ir. Achmad Soemitro pada lembar pengesahan.
Roy menyatakan bahwa pada November 1985, saat skripsi disahkan, Achmad Soemitro masih bergelar Doktor, dan baru dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Maret 1986.
- Tidak Adanya Lembar Pengujian: Menurut Roy, skripsi tersebut tidak memiliki lembar pengujian yang merupakan bagian krusial sebagai bukti bahwa skripsi telah diuji di hadapan dewan penguji.
Baca Juga:Pekik Massa GNPR Dalam Aksi 411 di Patung Kuda: Jokowi Mundur
"Kesimpulannya, skripsi yang cacat tidak akan lulus dan tidak akan ada ijazah asli," tegas Roy.
4. Desakan Pemanggilan Saksi dan Optimisme Naik Penyidikan
Usai gelar perkara, Roy Suryo dan tim kuasa hukumnya menyatakan bahwa penyidik akan menindaklanjuti temuan mereka.
Ia secara terbuka menantang dan meminta kepolisian untuk memanggil para pemilik ijazah pembanding (Frono Jiwo dan Sri Murtiningsih) serta sosok Dumatno Budi Utomo sebagai saksi kunci.
Mereka berharap status kasus ini dapat segera ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan agar segala tuduhan dapat diuji secara hukum dan menjadi terang benderang bagi publik.
Pelaksanaan gelar perkara khusus ini sendiri dinilai sebagai langkah maju dalam proses penegakan hukum di Indonesia.