SuaraJakarta.id - Setiap kali perayaan 17 Agustus tiba, sorak-sorai anak-anak yang berlomba sambil gigit sendok berisi kelereng menjadi pemandangan yang tak terpisahkan.
Tawa pecah saat kelereng jatuh, dan tepuk tangan meriah menyambut siapa pun yang berhasil mencapai garis finis.
Namun, di balik kesederhanaan dan keceriaannya, lomba gigit sendok kelereng menyimpan jejak sejarah dan makna filosofis yang mendalam.
Asal-Usul: Adaptasi dari Era Kolonial
Baca Juga:3 Contoh Naskah Doa Upacara 17 Agustus yang Menyentuh Hati dan Penuh Makna
Meskipun tidak ada catatan sejarah tunggal yang pasti, teori yang paling banyak diyakini menyebutkan bahwa lomba ini merupakan adaptasi dari permainan yang populer di kalangan masyarakat Belanda dan Eropa pada masa kolonial.
Di Eropa, permainan serupa yang dikenal adalah lomba lari dengan telur di sendok (egg-and-spoon race).
Permainan ini sering diadakan dalam acara-acara kebun, pesta, atau perayaan sekolah untuk melatih keseimbangan dan konsentrasi anak-anak.
Ketika dibawa ke Hindia Belanda, permainan ini kemungkinan besar dilihat dan ditiru oleh masyarakat pribumi.
Namun, karena telur pada masa itu merupakan barang yang cukup mahal bagi kebanyakan orang, masyarakat pun berkreasi.
Baca Juga:Anti Luntur, Contek Riasan Kece Buat Pesta 17 Agustus di Kampung
Mereka mengganti telur dengan kelereng (gundu), sebuah mainan anak yang jauh lebih murah, mudah didapat, dan bisa digunakan berulang kali.
Sendok, sebagai alat makan, sudah menjadi barang umum di setiap rumah.
Ledakan Popularitas Pasca-Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, semangat untuk merayakan kebebasan dengan cara yang meriah dan merakyat sangat tinggi.
Pemerintah di era Presiden Soekarno aktif mendorong perayaan kemerdekaan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk memperkuat rasa nasionalisme dan semangat gotong royong.
Lomba gigit sendok kelereng menjadi pilihan yang sempurna.