Tuduh Termul, Gus Nur Bandingkan Aturan Baru KPU Dengan Pelamar Kerja Bergaji UMR

Gus Nur, dengan gaya lugasnya, menyoroti ironi mencolok dari kebijakan KPU.

Eviera Paramita Sandi
Jum'at, 19 September 2025 | 14:50 WIB
Tuduh Termul, Gus Nur Bandingkan Aturan Baru KPU Dengan Pelamar Kerja Bergaji UMR
Ketua KPU Mochammad Afifuddin sampaikan soal pencabutan aturan KPU nomor 731 tahun 2025 tentang penetapan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan KPU. [Suara.com/Faqih]

SuaraJakarta.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru-baru ini menjadi pusat perhatian dan kritik tajam menyusul dikeluarkannya Keputusan KPU nomor 731 Tahun 2025.

Aturan tersebut, yang semula menetapkan dokumen calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi yang dikecualikan, memicu kegaduhan publik dan menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan integritas proses demokrasi di Indonesia.

Meskipun KPU mengklaim keputusan ini bukan untuk melindungi pihak tertentu, reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Sugi Nur Raharja atau Gus Nur, menggambarkan tingkat ketidakpercayaan yang mendalam.

Gus Nur, dengan gaya lugasnya, menyoroti ironi mencolok dari kebijakan KPU.

Baca Juga:Biar Warga Bisa Mengawasi, KPU Jakarta Siapkan Buku Janji Kampanye Pramono Anung-Rano Karno

Ia membandingkan standar transparansi yang diterapkan dalam proses melamar pekerjaan di perusahaan kecil dengan kerahasiaan yang dituntut untuk posisi politik tertinggi.

Menurutnya, jika dokumen pelamar kerja biasa harus transparan, maka merahasiakan informasi penting terkait kandidat yang akan memimpin 280 juta rakyat adalah tindakan yang sangat tidak adil dan tidak dapat diterima.

“Sekarang ada muncul ini KPU membuat peraturan aneh – aneh.

Katanya akan menutup akses atau akan merahasiakan semua dokumen – dokumen capres dan cawapres 2029 yang akan datang ini,” ujar Gus Nur, dikutip dari youtubenya, Kamis (18/9/25).

Ia pun membandingkan hal ini dengan pelamar kerja yang gajinya UMR.

Baca Juga:KPU Nyatakan Semua Tahapan Pilgub Jakarta Telah Usai

“Untuk melamar kerja di Perusahaan kecil saja yang gaji UMR itu harus jelas, transparan, tidak boleh ditutup – tutupi. La ini untuk gawe yang besar menyangkut 280 juta rakyat, malah tidak boleh diakses, kecuali atas ijin yang punya, termasuk surat Kesehatan, surat kelakukan baik, termasuk ijazahnya tidak bisa diakses, ditutup, dirahasiakan sama KPU,” tambahnya.

Pernyataan ini secara eksplisit menggarisbawahi standar ganda yang dirasakan dalam sistem hukum dan politik.

Lebih jauh, Gus Nur secara blak-blakan menyatakan bahwa fenomena ini adalah yang pertama kali ia temui sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia.

Dugaan kuatnya mengarah pada intervensi politik, di mana ia mencurigai adanya pengaruh dari para pendukung Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi), di balik KPU.

“Sejak Indonesia Merdeka, 6 kali Ganti presiden, baru sekarang ini. Ini KPU ini Termul ini kayaknya,” sebutnya.

Gus Nur juga menyuarakan kekhawatiran mendalamnya tentang potensi kerusakan yang berkelanjutan, menuding bahwa fenomena ini adalah bagian dari "dampak kerusakan revolution mental" yang telah berlangsung sejak masa pemerintahan presiden ke-7.

“Ini sejak ada presiden ke 7 ini. Ini dampak kerusakan revolution mental ini. Sampai kapan nanti? Sampai anak cucu kita nanti,” ungkapnya.

Dalam kritiknya, Gus Nur juga secara eksplisit menyentil usaha Presiden Jokowi untuk menjadikan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden.

Ia mengecam tindakan tersebut sebagai contoh nyata dari kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan banyak pihak.

“Peradabannya rusak, tata kramanya rusak, korupsi dimana – mana, nepotis dimana – mana, kolusi dimana – mana,” Ungkapnya.

Ia tak segan menyebut tindakan tersebut sebagai "maling" atau penipuan, terutama terkait dugaan perubahan undang-undang demi memenuhi syarat usia.

“Anakmu belum pantas jadi presiden, anakmu belum pantas jadi pejabat, belum cukup umur, iya sudah ubah undang – undangnya supaya umurnya cukup. Kan maling ini Namanya, otak – otak maling. Nah yang model – model begini ini yang mau ditutupi oleh KPU dari publik,” sambungnya.

Menyusul gelombang protes dan sorotan publik yang intens, Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, akhirnya menyampaikan permohonan maaf dan memutuskan untuk membatalkan aturan kontroversial tersebut.

“Kami dari KPU mohon maaf atas situasi keriuhan yang sama sekali tidak ada pretensi sedikit pun di KPU untuk melakukan hal – hal yang dianggap menguntungkan pihak – pihak tertentu,” ujar Afifuddin.

Meskipun demikian, permintaan maaf ini sulit meredakan kecurigaan yang telah terlanjur muncul.

Afifuddin menjelaskan bahwa KPU telah berkoordinasi dengan Komisi Informasi Pusat (KIP) dan mendasarkan aturan pada Peraturan KPU, Undang-Undang Pemilu, serta Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 terkait Perlindungan Data Pribadi.

Namun, penjelasan ini justru menimbulkan pertanyaan mengapa interpretasi hukum tersebut baru direvisi setelah adanya tekanan publik yang masif.

Apresiasi KPU terhadap partisipasi masyarakat di media sosial, meski disampaikan, tidak serta merta menghapus kesan bahwa keputusan awal dibuat tanpa mempertimbangkan semangat keterbukaan dan akuntabilitas yang seharusnya menjadi pilar demokrasi.

Kejadian ini menjadi pengingat penting akan perlunya kewaspadaan publik terhadap setiap kebijakan yang berpotensi merongrong prinsip-prinsip dasar demokrasi dan transparansi.

Kontributor : Kanita

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak