Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah
Selasa, 27 Oktober 2020 | 16:33 WIB
Ustaz Abdul Somad memberikan keterangan pers di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (21/8). [Suara.com/Arya Manggala]

SuaraJakarta.id - Sebentar lagi umat muslim di Indonesia akan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini akan berlangsung pada, Kamis (28/10/2020).

Saat Maulid biasanya warga muslim melakukan berbagai kegiatan keagamaan.

Maulid Nabi Muhammad SAW bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal.

Meski demikian ternyata hukum Maulid Nabi masih menjadi kontrovesi tersendiri.

Baca Juga: Wajib Tahu, Begini Sejarah Peringatan Pertama Maulid Nabi Muhammad SAW

Dua Pendapat Hukum

Di satu sisi perayaan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang bidah alias perbuatan atau cara yang tidak pernah dikatakan atau dicontohkan Rasulullah atau sahabatnya, kemudian dilakukan seolah-olah menjadi ajaran Islam.

Di sisi lain, ada pula hukum yang membolehkan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Terkait hal itu, Ustaz Abdul Somad (UAS) dalam ceramahnya menjelaskan terkait hukum memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.

Ia menggambarkan bahwa ada sekitar 300 ribu hadis yang bilang bahawa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW boleh dilakukan.

Baca Juga: Tiba di Arab Saudi, JK Bahas Pembangunan Museum Sejarah Nabi Muhammad SAW

Sementara itu yang menganggap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini bid'ah, hanya sebagian kecil ulama Arab Saudi.

Dalam ceramah yang ia lakukan, UAS juga memaparkan beberapa hadis serta pendapat ulama besar mengenai dasar diperbolehkannya Maulid Nabi Muhammad SAW.

"Positifnya peringatan Maulid Nabi karena adanya silaturahmi satu sama lain. Bukan setahun sekali, melainkan setiap minggu di hari senin," kata UAS.

Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa Rasul pun pernah merayakan hari lahirnya dengan berpuasa.

"Rasulullah SAW pernah ditanya mengapa melaksanakan puasa hari Senin. Salah satunya adalah Rasulullah SAW ternyata mengenang hari lahirnya sendiri," ujar UAS mengutip salah satu hadis HR Muslim.

Rasulullah SAW menjawab, "Pada hari itu aku dilahirkan dan hari aku dibangkitkan (atau hari itu diturunkan [Alquran] kepadaku)."

Ada pun alasan lainnya merujuk pada penafsiran Rasulullah terhadap kalimat Ayyamillah dalam QS Ibrahim [14]: 5 yang berbunyi, "Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah."

Imam An-Nisa’i Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id al-Musnad, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Ubai bin Ka’ab meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa Rasulullah SAW menafsirkan kalimat Ayyamillah sebagai nikmat-nikmat dan karunia Allah SWT.

"Dengan demikian maka makna ayatnya adalah 'Dan ingatkanlah mereka kepada nikmat-nikmat dan karunia Allah’. Dan kelahiran Muhammad SAW adalah nikmat dan karunia terbesar yang harus diingat dan disyukuri," kata UAS.

Pendapat Ibnu Taimiyah

Selain pendapat di atas, UAS juga memaparkan pendapat dari Ibnu Taumiah.

Ibnu Taimiyah yang menjelaskan bahwa mengagungkan hari lahir Nabi Muhammad SAW dan menjadikannya sebagai perayaan, maka ia mendapat balasan pahala besar karena kebaikan niatnya dan pengagungannya kepada Rasulullah SAW.

Pendapat lain yang juga dijelaskan UAS berasal dari Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.

"Hukum asal melaksanakan maulid adalah bid’ah, tidak terdapat dari seorang pun dari kalangan Salafushshalih dari tiga abad (pertama). Akan tetapi maulid itu juga mengandung banyak kebaikan dan sebaliknya. Siapa yang dalam melaksanakannya mencari kebaikan-kebaikan dan menghindari yang tidak baik, maka maulid itu adalah bid’ah hasanah, begitulah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani,” tandas UAS.

"Dengan demikian maka makna ayatnya adalah ‘Dan ingatkanlah mereka kepada nikmat-nikmat dan karunia Allah’. Dan kelahiran Muhammad SAW adalah nikmat dan karunia terbesar yang harus diingat dan disyukuri."

Load More