Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Minggu, 20 Juni 2021 | 08:15 WIB
Deretan gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (5/5).

Di akhir dinasti Ming (1368-1644) dan awal dinasti Ching (1644-1911), jumlah imigran etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara semakin bertambah akibat adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap dinasti Ming sehingga banyak penduduk yang berimigrasi menghindari peperangan.

Para perantau kebanyakan berasal dari propinsi-propinsi di Cina Selatan, seperti propinsi Kwangtung, Fukien, Kwangsi, dan Yunan.

Para perantau tidak berasal dari satu suku bangsa, tetapi paling sedikit delapan suku bangsa dengan bahasa yang berbeda-beda. Orang Cina di Indonesia sebagian berasal dari empat suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Kheh, Tiau-Chiu, dan orang kota Kanton.

Pada perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia pada 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian ini akhirnya memunculkan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa tengah dibantu pula oleh etnis Jawa.

Baca Juga: Melonjak, TPU Rorotan Jakarta Utara Terisi 400 Makam Pasien Covid-19

Pada akhirnya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Jauh sebelum Belanda membangun Batavia pada tahun 1619 Tionghoa sudah tinggal disebelah Timur Sungai Ciliwung yang letaknya tak jauh dari pelabuhan. Masyarakat disana kala itu menjual arak, beras dan kebutuhan lainnya termasuk air minum bagi para pendatang yang singgah di pelabuhan. Banyak masyarakat Tionghoa yang diusur kemudian dipindahkan ke kawasan Glodok.

Sumber: UNY, Historia, Jurnal UNY

Kontributor : Kiki Oktaliani

Baca Juga: Potret Toleransi, Rumah Adat Tionghoa Bakal Dibangun di Kubu Raya

Load More