Scroll untuk membaca artikel
Rizki Nurmansyah
Sabtu, 28 Agustus 2021 | 11:02 WIB
Vaksinator menyiapkan vaksin COVID-19 sebelum disuntikkan pada warga di Stasiun Juanda, Jakarta, Jumat (20/8/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraJakarta.id - Sejumlah mitos berkembang di masyarakat seputar vaksinasi dan Corona Virus Disease 2019 alias COVID-19.

Mitos-mitos ini pun tak jarang dilakukan oleh sejumlah masyarakat. Contohnya adalah anggapan sesudah vaksinasi akan kebal dari COVID-19.

Salah satu mitos yang paling banyak berkembang adalah keberadaan chip.

Vaksinasi dicurigai mengandung chip yang disuntikkan ke dalam tubuh melalui vaksin COVID-19.

Baca Juga: Bulan Safar dan Amalan-amalan Baik yang Bisa Ditingkatkan

Terkait ini, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru, Reisa Broto Asmoro pun memberikan bantahan atas mitos, dan mengungkap fakta seputar vaksinasi dan COVID-19:

1. Chip

Dalam acara bincang-bincang yang digelar virtual, Jumat (27/8/2021), Reisa membantah mitos vaksin COVID-19 mengandung chip.

"Jadi ini mitos yang banyak banget berkembang karena pada tidak paham isi vaksin itu sebenarnya apa. Sebenarnya isi vaksin itu mau itu vaksin buatan Amerika, Eropa, China, itu semuanya punya standar internasional yang sama," ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa vaksin hanya berisi komponen virus serta bahan-bahan yang membuat vaksin awet di dalam tubuh.

Baca Juga: Peneliti Temukan Varian Delta Bisa Menular 2 Hari Sebelum Munculnya Gejala

"Jadi tidak ada tuh isi chip segala macam," tegas Reisa dikutip dari Antara, Sabtu (28/8/2021).

Sejumlah wartawan meliput proses penyuntikkan vaksin COVID-19 kepada seorang Warga Negara Asing (WNA) di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Selasa (24/8/2021). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

2. Merokok

Mitos lainnya yakni tentang merokok dapat menangkal virus corona. Reisa menegaskan hal itu tidak benar.

Faktanya, kata Reisa, merokok justru memperburuk kondisi tubuh, terlebih terinfeksi COVID-19.

Merokok, kata dia, juga berpotensi menularkan droplet ke lingkungan sekitar, apalagi jika dilakukan di ruangan yang tidak memiliki sirkulasi udara yang bagus.

Hal itu membuat virus bertahan di udara dan berpotensi terhirup oleh orang lain.

3. Anak-Anak Kebal COVID-19

Reisa juga membantah mitos yang menyebut anak-anak kebal terhadap COVID-19. Dia mengatakan bahwa tingkat kematian anak-anak karena COVID-19 di Indonesia justru tergolong tinggi.

"Jadi jangan salah kaprah, anak-anak ini bukan berarti kebal dan justru malah kita harus bersedih karena di Indonesia ini tingkat kematian anak karena COVID-19 ini tinggi sekali dibanding negara lainnya. Jadi kita harus hati-hati ekstra jaga anak-anak, ajarkan mereka protokol kesehatan 3M," kata Reisa.

Ilustrasi anak-anak terpapar COVID-19. 

4. Abai Prokes

Mitos selanjutnya adalah anggapan bahwa protokol kesehatan dapat diabaikan setelah menerima vaksin COVID-19.

Reisa menilai hal itu salah kaprah, karena vaksinasi COVID-19 tidak membuat tubuh menjadi kebal 100 persen.

Vaksin, kata dia, merupakan bagian dari ikhtiar membentengi diri dari penularan COVID-19. Selain vaksin, ikhtiar lain yang harus dilakukan adalah menerapkan protokol kesehatan.

"Nantilah suatu saat kalau misalnya semuanya sudah divaksinasi, kita sudah mempunyai herd immunity atau kekebalan imunitas, barulah kita bisa berharap kita bisa melonggarkan si protokol kesehatan ini," kata Reisa.

5. Minum Minyak Kayu Putih

Dalam kesempatan itu, Reisa turut menjawab mengenai mitos tentang meminum minyak kayu putih dapat menyembuhkan COVID-19.

Pada faktanya, kata Reisa, mengonsumsi minyak kayu putih justru dapat membahayakan tubuh dan berpotensi menimbulkan penyakit baru.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 dan Duta Perubahan Perilaku Reisa Broto Asmoro.

6. Imunitas Penyintas

Terakhir, Reisa menjawab mengenai mitos yang menyebut imunitas orang yang pernah terinfeksi COVID-19 lebih baik dari orang yang divaksin.

Dia mengatakan bahwa daya tahan tubuh yang terbentuk dari penyintas COVID-19 berbeda-beda.

"Ada yang bentuknya ringan, ada yang terbentuknya optimal. Jadi yang lebih baik dilakukan adalah perlindungan justru dari vaksin, karena vaksin itu bisa memberikan perlindungan yang memang sudah tertakar, sudah sesuai rekomendasi, jadi optimal," ujar Reisa.

"Apalagi kalau sempat sakitnya gejalanya ringan, biasanya antibodinya justru tidak terlalu optimal seperti yang diharapkan dan biasanya tidak bertahan lama seperti dari vaksin," sambung dia.

Load More