SuaraJakarta.id - Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat menilai ke depannya ajang Citayam Fashion Week (CFW) harusnya disalurkan ke dalam ruang-ruang ekonomi kreatif yang produktif. Misalnya dengan berbagai event tertentu yang dihelat setiap weekend, disediakan event panggung dan mengundang model ternama.
"Bisa bikin perform sekalian penyanyi konser, komedian stand up, tapi juga bisa melibatkan dari BUMN, Pemda DKI jelas terlibat. Kemenparekraf juga bisa, lalu Kemenpora juga bikin acara-acara anak muda yang lebih kreatif dan menyenangkanlah, jangan serius-serius," ungkapnya.
Bahkan, kata Rakhmat, bisa juga dibentuk komunitas dengan menjadikan Jeje dan Bonge sebagai pimpinan komunitas tersebut sebagai pentolan dari tren Citayam Fashion Week itu.
Tak hanya itu, bahkan bisa juga menghadirkan duta besar (dubes) negara sahabat beserta para pasangannya sehingga dapat menjadi aktivitas baru yang menarik warga semakin antusias di Citayam Fashion Week.
Baca Juga: Apresiasi Baim Wong Batal Patenkan HAKI Citayam Fashion Week, Wagub DKI: CFW Punya Publik
"Undanglah diplomat asing, duta-duta besar, pengusaha, menikmati malam-malam di SCBD itu. Atau istri-istri dubes juga bisa tampil catwalk dengan anak-anak CFW, jadi kelihatan menarik. Jadi eksposure ke dubes-dubes itu juga bagus juga. Ini event sosial non-komersil pasti artis akan tertarik. Kalau dikelola kan bisa saja dengan penyanyi-penyanyi yang sedang tren dan naik daun," sarannya.
"Atau ibu-ibu Menteri gantian untuk fashion week di situ kan menarik itu. Atau juga Kemenparekraf bisa mempromosikan baju-baju adat batik daerah-daerah dari Indonesia, kan lebih bagus eksposure akan lebih kelihatan. Kuliner juga bisa digelar di situ, misalnya di sekitar SCBD itu misalnya mobil motor ditutup jadi orang bisa leluasa, ada panggung. Orang bisa jalan, skuter, bawa sepeda, itu akan jadi keren banget," sambungnya.
Sebelumnya, Rakhmat menilai ada sejumlah penilaian terhadap kemunculan tren yang dipopulerkan oleh remaja SCBD (Sudirman Citayam Bojonggede Depok) ini.
Pertama sebagai simbol perlawanan kemapanan dan kedua sebagai kritik bagi pemerintah.
Rakhmat mengatakan, munculnya fenomena CFW itu sebagai dekonstruksi kemapanan struktural yang selama ini berkembang dan melekat di kota metropolitan Jakarta.
Baca Juga: Jadi Rebutan Orang Kaya, Ini Keuntungan Daftar HAKI Citayam Fashion Week
Selama ini, kata Rakhmat, kemapanan struktural di Jakarta identik dengan yang gemerlap, metropolis, elite, branded dan fenomena kultural yang elitis. Hal itu tentu menunjukkan trennya hanya berada di struktural masyarakat kalangan ekonomi menengah ke atas.
"Tren Citayam Fashion Week ini bisa dipahami sebagai dekonstruksi kemapanan struktural ya. Mereka melakukan dekonstruksi kemapanan struktural yang selama ini berkembang di Jakarta yang gemerlap, metropolis, kapitalis, dengan fenomena kultural yang elitis, pada kelas sosial tertentu. Yakni kelas sosial menengah ke atas (yang) selama ini menjadi konsumsi utama dari kebudayaan kemapanan kota-kota besar di Jakarta, yang sudah berlangsung secara permanen dan diproduksi secara struktural dalam jangka waktu yang sangat panjang di Jakarta," kata Rakhmat saat dihubungi SuaraJakarta.id—grup Suara.com—Senin (25/7/2022).
Jauh sebelum tren Citayam Fashion Week muncul, di Jakarta sudah ada sejumlah tren. Tetapi, tren itu hanya lekat dengan 'orang kaya-nya' Jakarta saja yang biasa dengan kemewahan.
Pada 1980-an, lanjut Rakhmat, muncul tren tempat nongkrong anak-anak muda Jakarta yakni 'Melawai'.
Di tahun-tahun berikutnya, kemudian muncul tren lain di Selatannya Jakarta atau Jakarta Selatan. Anak-anak muda di sana, kata Rakhmat, punya tren menggunakan Bahasa Inggris dalam campuran komunikasi sehari-hari.
"Mereka ini memang anak-anak yang berada di daerah Jaksel, Blok M, Senopati dan sekitarnya. Nah, itu kan kebudayaan yang sudah mapan bahwa mereka kelas sosial elite," ungkap Rakhmat.
Lalu era saat ini, muncul para anak muda Citayam dan anak pinggiran ibu kota lainnya membawa tren baru yang menyesuaikan dengan kelas ekonomi sosial mereka. Yakni dengan berpakaian aneh, nyentrik, kontras dan mencolok di publik.
"Ketika anak-anak Citayam, Ciputat dan pinggiran hadir ke Jakarta dengan sosok, ciri dan identitas mereka dengan outfit yang nyentrik, menjadi kontradiksi dengan anak-anak Jakarta yang outfit-nya mewah, branded, yang khas. Dan dengan keunikan yang diproduksi oleh cara berpikir mereka (anak Citayam—red), cara penampilan mereka dan mereka melakukan perlawanan terhadap kemapanan yang sudah lama berkembang di Jakarta," papar Rakhmat.
"Mereka itu ingin menunjukkan bahwa mereka juga bisa, dengan harga outfit yang sekian, nyentrik, aneh dan punya spot catwalk di pinggir jalan atau di trotoar. Kalau misalnya orang elite atas punya etalase catwalk-nya di mall, tapi anak-anak itu catwalk-nya di jalanan. Mereka berangkat dari Citayam, Depok dan pinggiran lainnya dengan hanya modal Rp 10 ribu bisa ke Jakarta buat beli minuman es teh manis atau kopi dan itu cara perlawanan mereka. Perlawanan struktural dari anak-anak pinggiran Jakarta," sambung Rakhmat.
Kedua, kata Rakhmat, munculnya tren Citayam Fashion week menjadi kritikan bagi pemerintah penyangga Kota Jakarta. Para anak pinggiran Jakarta itu datang ke kawasan elite SCBD untuk menunjukkan eksistensi dan tuntutan mereka akan kebutuhan ruang publik untuk bersosial dan berekspresi.
"Kebetulan saya tinggal di daerah Sawangan berbatasan dengan Bojong dan Citayam. Saya sering naik kereta ke kampus melewati kampung Citayam. Jadi saya tahu betul anak-anak yang sering nongkrong, sering nyentrik. Nah jadi ini cara mereka menegur, mengkritik terhadap negara. Karena negara tidak menyediakan ruang publik bagi mereka. Negara tidak menyediakan ruang sosial mereka berekspresi dan akhirnya mereka memilih ke Jakarta," paparnya.
"Jadi saya melihat dua itu. Pertama sebagai ekspresi perlawanan mereka dan kedua bentuk kritik terhadap pemerintah daerah penyangga karena dianggap gagal mengakomodir ruang ekspresi bagi anak-anak muda itu. Pilihannya yang murah meriah adalah pergi ke Jakarta. Apa bentuk kegagalan pemerintah lokal menyediakan ruang berekspresi itu? Ya mereka nggak ada tempat berekspresi anak-anak muda nongkrong, taman, untuk main skateboard, pertunjukkan seni musik, itu nggak ada. Karena itu dianggap nggak penting buat pemerintah di daerah penyangga itu," pungkas Rakhmat.
Kontributor : Wivy Hikmatullah
Berita Terkait
-
Dibuang Baim Wong, Paula Verhoeven Temui Orang Penting di Belanda di Tengah Proses Cerai
-
Nekat Cium Rambut Nagita Slavina, Baim Wong Kena Tepis Raffi Ahmad: Sembarangan Aja
-
Beda dengan Paula Verhoeven, Baim Wong Masih Sebut Ibu Anak-anaknya sebagai Istri
-
Deddy Corbuzier Terang-terangan Bela Paula Verhoeven, Baim Wong Diledek Ditinggal 'Sendirian'
-
5 Artis Kasih Anak Kado Mobil Mewah sejak Kecil, Lightning McQueen dari Raffi Ahmad Tak Ada Apa-apanya?
Tag
Terpopuler
- Diminta Cetak Uang Kertas Bergambar Jokowi, Reaksi Bank Indonesia di Luar Prediksi: Kalau Gitu...
- Ragnar Oratmangoen Akui Lebih Nyaman di Belanda Ketimbang Indonesia: Saya Tidak Menonjol saat...
- Warga Jakarta Jangan Salah Nyoblos Besok, YLBHI Bongkar 'Dosa-dosa' Cagub Nomor Urut 2 Dharma Pongrekun
- Pelatih Jay Idzes: Saya Tidak Senang, Ini Memalukan!
- Pratiwi Noviyanthi Ditinggal Pengacara Usai Tak Mau Selesaikan Kisruh Donasi Pengobatan Agus Salim
Pilihan
-
Review Hidup Peternak Lele: Game Simulasi Bagaimana Rasanya Jadi Juragan Ikan
-
Jangan Lewatkan! Lowongan Kerja OJK 2024 Terbaru, Cek Syaratnya Di Sini
-
4 Rekomendasi HP Gaming Murah Rp 2 jutaan Memori Besar Performa Handal, Terbaik November 2024
-
Harga MinyaKita Mahal, Mendag "Lip Service" Bakal Turunkan
-
Mahasiswa Universitas Lampung Ajak Warga Gotong Royong Peduli Lingkungan
Terkini
-
Bank Mandiri dan Tzu Chi Luncurkan Kartu Kredit Berbasis Donasi dan Layanan Filantropi Digital di Livin'
-
KPU DKI Jakarta Mulai Rekapitulasi Suara Tingkat Kecamatan Hari Ini
-
Pilkada Jakarta Lancar dan Aman, Polda Metro Jaya Tetap Tingkatkan Kewaspadaan
-
Sopir Truk Penyebab Kecelakaan Beruntun di Slipi Ditetapkan Jadi Tersangka
-
Ucapkan Selamat HUT ke-96, Pramono: Kami Ingin Persija Jadi Klub Kebanggaan Kita Bersama