Bangun Santoso | Fakhri Fuadi Muflih
Rabu, 16 April 2025 | 13:25 WIB
Sejumlah kendaraan bermotor melintas di bawah alat sistem jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (19/1/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

SuaraJakarta.id - DPRD DKI Jakarta meminta Gubernur Pramono Anung untuk segera menerapkan sistem jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP). Kebijakan ini dianggap sebagai salah satu terobosan dan langkah konkret untuk mengatasi kemacetan.

Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta, Dimaz Raditya menegaskan, kebijakan ERP bisa diterapkan secara bertahap. Lokasi awal pelaksanaannya bisa dimulai di ruas-ruas jalan protokol.

"Penerapan ERP tahap pertama bisa dilakukan di ruas-ruas jalan utama terlebih dahulu dan dilakukan perluasan setelah dilakukan evaluasi," ujar Dimaz, dikutip Rabu (16/4/2025).

Menurutnya, ERP merupakan salah satu bentuk manajemen lalu lintas yang lebih progresif ketimbang kebijakan ganjil genap yang selama ini diterapkan. Dimaz menyebut ganjil genap tak lagi efektif menekan penggunaan kendaraan pribadi, justru mendorong masyarakat untuk memiliki lebih dari satu mobil.

"Penerapan ganjil genap tidak mendorong berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi karena orang cenderung menambah jumlah kendaraan yang dimiliki," kata Dimaz.

Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menjelaskan saat ini pihaknya tengah mengebut penyusunan regulasi pendukung penerapan ERP. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas. Pembahasannya ditargetkan bisa segera rampung tahun ini.

Regulasi tersebut juga menjadi turunan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ), yang memberikan payung hukum baru pasca-Jakarta tak lagi menyandang status ibu kota negara.

"Diharapkan tahun ini untuk ERP bisa langsung ada peraturan daerahnya sehingga untuk implementasinya itu bisa lebih cepat dilakukan. Tinggal dalam tataran implementasi, setelah produk hukumnya jadi," kata Syafrin kepada wartawan, Selasa (18/2/2025).

Namun, Syafrin tak menampik bahwa ERP bukanlah kebijakan populis. Wacana ini telah digodok sejak beberapa tahun lalu, bahkan sempat sampai ke tahap tender. Sayangnya, pelaksanaannya kandas akibat gagal lelang dan minimnya dukungan publik.

Baca Juga: Tak Terima Jalan Fatmawati Masuk dalam Skema ERP, Mahasiswa UPN Veteran Demo Kantor Heru Budi

"Memang saya memahami bahwa perubahan radikal disini adalah bagaimana dari ganjil genap berubah menjadi ERP. Karena Jakarta untuk mengubah kepada electronic road pricing harus disiapkan landasan hukumnya yang proven," pungkas Syafrin.

Perluasan Transjabodetabek untuk Kurangi Kemacetan Jakarta

Kepadatan kendaraan yang melintas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (8/4/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Di sisi lain, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai perluasan layanan Transjabodetabek akan membantu mengurangi ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi sehingga bisa mengurang tingkat kemacetan di Jakarta.

“Rencana perluasan layanan Transjabodetabek akan sangat membantu mengurangi penggunaan pribadi ke Kota Jakarta. Juga untuk memastikan target 60 persen warga Jabodetabek beralih menggunakan angkutan umum,” kata Djoko lewat keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (2/4/2025) lalu.

Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat itu juga menyebut penerapan jalan berbayar dibutuhkan untuk mengendalikan mobilitas kendaraan pribadi di Jakarta.

“Penerapan jalan berbayar atau ERP (electronic road pricing) perlu dipertimbangkan untuk mengendalikan mobilitas kendaraan pribadi di Jakarta,” katanya sebagaimana dilansir Antara.

Djoko menuturkan, pengembangan atau peningkatan layanan angkutan umum hingga kawasan perumahan merupakan kata kunci mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi menggunakan angkutan umum.

Terlebih, saat ini beban masyarakat, khususnya generasi muda, cukup berat dalam menjangkau hunian. Selain harus membeli rumah yang harganya semakin mahal, juga harus membeli kendaraan bermotor.

“Pasalnya, kawasan perumahan yang ditempati tidak memiliki fasilitas transportasi umum menuju tempat kerja. Perumahan menjadi kurang layak huni jika tidak diimbangi akses transportasi,” katanya.

Hal itu lantaran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang tidak mewajibkan fasilitas transportasi umum sebagai bagian dari sarana umum.

Padahal, sebelum era 1990-an, pemerintah menerapkan kebijakan pembangunan kawasan perumahan diimbangi ada layanan transportasi umum, seperti angkutan kota, bus umum atau bus Damri.

“Undang-undang tersebut perlu direvisi dengan memasukkan kewajiban pembangunan perumahan dan permukiman disertai penyediaan fasilitas akses transportasi umum,” ujarnya.

Djoko mencatat ketergantungan publik terhadap ojek akibat tata ruang yang semrawut. Misalnya, di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), komposisi angkutan umum hanya tersisa 2 persen, sedangkan mobil 23 persen dan sepeda motor mencapai 75 persen.

“Tidak ada sinkronisasi antara membangun kawasan perumahan dan layanan transportasi,” tuturnya.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membuka empat rute baru bus Transjabodetabek di Alam Sutera hingga Vida Bekasi. Saat ini, keempat rute tersebut tengah diuji coba dan dikoordinasikan dengan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).

Pertama, untuk wilayah Bekasi, akan ada layanan dari Vida Bekasi ke Cawang Jakarta. Kedua, untuk di Bogor, akan ada layanan dari Kota Wisata, Cibubur, ke Cawang, Jakarta. Selanjutnya, rute ketiga dan keempat akan ada layanan untuk wilayah Tangerang, yakni dari Alam Sutera ke Blok M, Jakarta, dan Binong ke Grogol, Jakarta.

Load More