Eviera Paramita Sandi
Selasa, 12 Agustus 2025 | 11:39 WIB
Ilustrasi lomba gigit sendok berisi kelereng [Google AI]

SuaraJakarta.id - Setiap kali perayaan 17 Agustus tiba, sorak-sorai anak-anak yang berlomba sambil gigit sendok berisi kelereng menjadi pemandangan yang tak terpisahkan.

Tawa pecah saat kelereng jatuh, dan tepuk tangan meriah menyambut siapa pun yang berhasil mencapai garis finis.

Namun, di balik kesederhanaan dan keceriaannya, lomba gigit sendok kelereng menyimpan jejak sejarah dan makna filosofis yang mendalam.

Asal-Usul: Adaptasi dari Era Kolonial

Meskipun tidak ada catatan sejarah tunggal yang pasti, teori yang paling banyak diyakini menyebutkan bahwa lomba ini merupakan adaptasi dari permainan yang populer di kalangan masyarakat Belanda dan Eropa pada masa kolonial.

Di Eropa, permainan serupa yang dikenal adalah lomba lari dengan telur di sendok (egg-and-spoon race).

Permainan ini sering diadakan dalam acara-acara kebun, pesta, atau perayaan sekolah untuk melatih keseimbangan dan konsentrasi anak-anak.

Ketika dibawa ke Hindia Belanda, permainan ini kemungkinan besar dilihat dan ditiru oleh masyarakat pribumi.

Namun, karena telur pada masa itu merupakan barang yang cukup mahal bagi kebanyakan orang, masyarakat pun berkreasi.

Baca Juga: 3 Contoh Naskah Doa Upacara 17 Agustus yang Menyentuh Hati dan Penuh Makna

Mereka mengganti telur dengan kelereng (gundu), sebuah mainan anak yang jauh lebih murah, mudah didapat, dan bisa digunakan berulang kali.

Sendok, sebagai alat makan, sudah menjadi barang umum di setiap rumah.

Ledakan Popularitas Pasca-Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, semangat untuk merayakan kebebasan dengan cara yang meriah dan merakyat sangat tinggi.

Pemerintah di era Presiden Soekarno aktif mendorong perayaan kemerdekaan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat untuk memperkuat rasa nasionalisme dan semangat gotong royong.

Lomba gigit sendok kelereng menjadi pilihan yang sempurna.

Alasannya sederhana yaitu :

  • Murah Meriah: Tidak memerlukan biaya besar, hanya sendok dan kelereng.
  • Inklusif: Bisa dimainkan oleh siapa saja, dari anak-anak hingga orang dewasa.
  • Penuh Kegembiraan: Menciptakan suasana yang ceria dan kompetitif secara sehat.

Sejak saat itulah, lomba ini menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi perayaan kemerdekaan di seluruh pelosok negeri, dari kampung hingga kompleks perumahan modern.

Makna Filosofis di Balik Permainan Sederhana

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Indonesia tidak hanya memainkan lomba ini, tetapi juga memberinya makna-makna mendalam yang merefleksikan perjuangan bangsa:

  • Keseimbangan dan Tanggung Jawab: Kelereng di atas sendok diibaratkan sebagai amanah atau tanggung jawab yang harus diemban. Peserta harus berjalan lurus ke depan menuju tujuan (garis finis) sambil menjaga amanah tersebut agar tidak jatuh. Ini adalah simbol dari bagaimana para pejuang membawa tugas berat memerdekakan bangsa dengan penuh kehati-hatian.
  • Fokus dan Konsentrasi Penuh: Untuk menjaga kelereng tetap stabil, peserta harus fokus pada tujuan dan tidak mudah teralihkan oleh gangguan di sekitarnya. Ini melambangkan fokus para pahlawan yang tidak goyah oleh tekanan dan ancaman penjajah demi mencapai kemerdekaan.
  • Kesabaran dan Kerja Keras: Tergesa-gesa atau berlari terlalu kencang justru akan membuat kelereng lebih mudah jatuh. Pesan moralnya adalah bahwa dalam mencapai tujuan besar, diperlukan kesabaran, ketekunan, dan kerja keras, bukan hanya kecepatan tanpa perhitungan.

Load More