Eviera Paramita Sandi
Kamis, 02 Oktober 2025 | 16:38 WIB
ILUSTRASI MBG - [Dok. Antara/Muhammad Zulfikar]
Baca 10 detik
  • Rocky Gerung menduga korupsi di MBG, ubah gizi jadi racun akibat persiapan buruk & proyek besar.
  • Kasus keracunan MBG di Bandung Barat ditetapkan KLB, 364 siswa terdampak per 22 Sept 2025.
  • Desakan moratorium & evaluasi total MBG muncul akibat kasus keracunan berulang & hilangnya kepercayaan.

SuaraJakarta.id - Kasus keracunan pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kini tengah menjadi sorotan.

Program MBG tersebut bahkan didesak untuk dihentikan sementara.

Berbicara soal MBG, Pengamat Politik Rocky Gerung mengatakan bahwa dari awal program tersebut sudah dicurigai.

Pasalnya, menurut Rocky program MBG adalah salah satu program yang persiapannya belum begitu sempurna.

“Mulai dari awal Program atau proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) ini sudah bukan sekedar dicurigai tapi disiniskan, karena soal persiapan yang mungkin pada waktu itu tidak sempurna,” ujar Rocky, dikutip dari youtubenya, Kamis (2/10/25).

Rocky mengatakan bahwa adanya dugaan korupsi patut dicurigai dalam program yang sifatnya proyek besar seperti MBG.

“Ini hal – hal yang seharusnya sudah kita bayangkan bahwa akan ada korupsi, karena program yang sifatnya proyek semacam ini,” aku Rocky.

Bahkan Rocky menyebut korupsi yang terjadi di balik MBG ini akhirnya mengubah makanan bergizi menjadi beracun.

“Maka korupsi mengubah sesuatu yang disediakan bergizi oleh alam menjadi racun akhirnya kan,” terangnya.

Baca Juga: Sentil Capres Lain, Rocky Gerung: Mahfud MD Satu-satunya yang Penuhi Syarat Fundamental

“Jadi saya simpulkan saja bahwa didalam proses penyelenggaraan makan bergizi gratis ini, alam menyediakan gizinya, tapi korupsi mengubahnya jadi racun,” imbuhnya.

Rocky mengaku bahwa pihaknya blak – blakan berani menyebut adanya korupsi di balik MBG lantaran sudah menjadi tradisi.

“Ya saya menyebutnya korupsi. Karena cara memandang Makan Bergizi Gratis ini kan juga (Mumpung). Jadi mumpum setiap hari ada potensi pemasukan yang besar, maka ‘mumpung’ itu berubah menjadi mencuri,” urainya.

Rocky menyebut program yang sifatnya massal namun tidak diikuti dengan adanya mitigasi akan berakhir dengan kekacauan. Salah satunya yakni terjadinya dugaan korupsi.

“Dari awal dikhawatirkan juga bahwa sesuatu yang direncanakan secara massal tidak diikuti dengan sistem mitigasi yang sempurna, maka pada suatu waktu dia akan mengalami keos,” ungkap Rocky.

“Itu sudah banyak contohnya dalam sejarah, bahwa semua proyek yang sifatnya massal didalamnya pasti ada potensi untuk terjadi kekacauan. Ini dari awal seharusnya sudah dipikirkan oleh pemerintah,” sambungnya.

Keracunan MBG Jadi KLB

Kasus keracunan makanan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di daerah Bandung, Jawa Barat disebut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

Bupati Bandung Barat, Jeje Ritchie Ismail yang menetapkan status KLB tersebut.

Berdasarkan data hingga 22 September 2025, ada sekitar 364 siswa Paud hingga SMA/SMK yang mengalami keracunan usai menyantap menu MBG di Kabupaten Bandung Barat.

Adanya keracunan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia tersebut akhirnya muncul desakan untuk menghentikan sementara program MBG.

Desakan tersebut datang dari sejumlah Lembaga swadaya Masyarakat (LSM), Masyarakat sipil dan peneliti.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR RI, peneliti dari Monash University Grace Wangge menilai, pemerintah perlu segera melakukan moratorium program MBG.

Kasus keracunan yang terus berulang ini menurutnya membuat kepercayaan publik terhadap program MBG semakin menurun drastis.

“Dalam jangka pendek, kami berharap pemerintah mau legawa untuk melakukan moratorium. Karena tidak bisa ditunda lagi, ini sudah Sembilan bulan. Masa kita mau tunda sampai kapan lagi,” ujar Grace, pada 22 September 2025.

Grace menyebut bahwa harus segera dilakukan evaluasi total sehingga terjadi perbaikan kedepannya.

“Karena ada kasus keracunan, membuat kepercayaan masyarakat lama – lama menurun dan mengikis. Kami menuntut ada evaluasi menyeluruh dari program ini karena tingginya kasus keracunan makanan, lemahnya mekanisme evaluasi, serta akuntabilitas dan transparansi,” terangnya.

Load More