Praktik Aborsi Online Hingga 32 Ribu Janin, Dokter DK Tak Bersertifikat

DK merupakan lulusan kedokteran salah satu universitas di Sumatera Utara.

Pebriansyah Ariefana | Muhammad Yasir
Rabu, 23 September 2020 | 16:14 WIB
Praktik Aborsi Online Hingga 32 Ribu Janin, Dokter DK Tak Bersertifikat
Polda Metro saat merilis kasus klinik aborsi ilegal di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat. (Suara.com/M Yasir)

SuaraJakarta.id - Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengungkap identitas dokter berinisial DK yang bekerja di klinik aborsi ilegal rumahan di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat.
Belakangan terkuak bahwa tersangka ternyata merupakan dokter yang tidak memiliki sertifikat spesialis kandungan.

Yusri menuturkan bahwa DK merupakan lulusan kedokteran salah satu universitas di Sumatera Utara.

Selanjutnya, tersangka DK juga sempat mengikuti KOAS atau ko-assistant di salah satu rumah sakit di Sumatera Utara.

"Dia pernah melakukan KOAS di salah satu rumah sakit sana dan hanya berlangsung sekitar dua bulan. Sehingga yang bersangkutan DK tidak memiliki sertifikasi sebagai dokter," kata Yusri saat jumpa pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (23/9/2020).

Baca Juga:Pasarkan Jasa Lewat Web, Klinik Aborsi Ilegal di Jakpus Raup Rp 10 Miliar

Menurut Yusri, asal muasal DK bekerja di klinik aborsi tersebut yakni diajak oleh tersangka LA (52).

Wanita tersebut merupakan pemilik klinik aborsi rumahan tersebut.

"Karena dia tidak sampai selesai, kemudian direkrut oleh si pemilik klinik untuk lakukan praktek aborsi," ungkapnya.

32 Ribu Janin

Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya sebelumnya mengungkap kasus praktik aborsi ilegal di sebuah klinik rumahan di kawasan Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat. Klinik aborsi ilegal tersebut tercatat telah melakukan praktik aborsi terhadap 32.760 janin.

Baca Juga:Klinik Aborsi di Percetakan Negara, Bunuh 32 Ribu Janin Bayi Sejak 2017

Dalam pengungkapan kasus tersebut, polisi telah menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Mereka masing-masing berinisial; LA (52), DK (30), NA (30), MM (38), YA (51), RA (52), LL (50), ED (28), SM (62), dan RS (25).

Masing-masing tersangka diketahui memiliki peran berbeda. Tersangka LA berperan sebagai pemilik klinik, DK sebagai dokter, NA sebagai kasir, MM sebagai petugas USG, YA dan LL sebagai pembantu dokter, RA sebagai penjaga pintu klinik, ED sebagai cleaning servis dan penjemput pasien, SM sebagai pelayan pasien, dan RS sebagai pasien.

"Pengungkapan kasus ini berawal dari informasi masyarakat yang kita terima bahwa ada satu klinik yang sering melakukan aborsi dan cukup lama," tutur Yusri.

Selain mengamankan para tersangka polisi turut pula mengamankan sejumlah barang bukti.

Beberapa barang bukti yang diamankan, yakni; satu unit alat steril, satu tabung oksigen, satu unit alat USG, satu unit vakum penyedot bakal janin, satu unit alat tensi, satu unit tempat tidur praktik, dan beragam obat-obatan.

10 Miliar

Selama beroperasi hampir tiga tahun terakhir ini, klinik aborsi rumahan di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat diprakirakan telah meraup omzet hingga Rp 10 miliar.

Klinik tersebut beroperasi setiap hari Senin hingga Sabtu, sejak pukul 07.00 hingga 13.00 WIB. Setiap harinya para tersangka menangani lima hingga enam pasien.

"Biaya termurah sekitar Rp 2 juta dengan janin yang termuda. Biasanya janin itu sekitar dua minggu, itu dengan biaya Rp2 juta. Kemudian di atas lima minggu itu sekitar Rp 4 juta. Ini yang dia terima," beber Yusri.

Berdasar hasil pemeriksaan para tersangka diketahui bahwa klinik tersebut menawarkan jasa aborsi melalui website klinikaborsiresmi.com.

Yusri menyampaikan akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo) menindaklanjuti kasus tersebut.

"Juga nanti dengan cyber untuk bisa patroli lagi, karena ini sangat terbuka sekali di website tersebut," katanya.

Kekinian atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 346 dan atau Pasal 348 ayat 1 dan atau Pasal 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP dan atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan atau Pasal 77A juncto Pasal 45A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Mereka terancam hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini