SuaraJakarta.id - Pengamat intelijen dan terorisme yang juga Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyayangkan aksi polisi yang menembak mati enam orang laskar pengawal Habib Rizieq Shihab dalam insiden bentrokan berdarah di KM 50, Tol Jakarta-Cikampek, Senin (7/12/2020) dini hari.
Dia menilai, tindakan penggunaan senjata api yang dilakukan polisi bisa melanggar HAM jika tak terbukti jika anggota laskar yang lebih dulu melakukan penyerangan. Dari segi hukum, jika polisi melakukan pelanggaran, tindakan tembak mati itu masuk dalam kategori extra judicial killing.
"Yang pasti dalam perspektif hukum ini bisa masuk katagori extra judicial killing. Dan ini pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparatur negara," kata Harits dihubungi Suara.com, Selasa (8/12/2020).
Mengutip dari laman hukumonline, extra judicial killing merupakan suatu pelanggaran hak hidup seseorang. Hak hidup setiap orang dijamin oleh UUD 1945 dan merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi apapun keadaannya (non-derogable rights). P{embunuhan di luar putusan pengadilan dilarang keras oleh ketentuan dalam hukum HAM internasional maupun peraturan perundang undangan National. Larangan tersebut dimuat di dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, serta International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Baca Juga:Terkait Bentrok Polisi-Anggota FPI, LPSK Siap Lindungi Saksi & Korban
Dia pun menilai, sikap polisi melakukan penindakan tegas terukur tersebut juga sangat berlebihan. Menurutnya, sekalipun klaim polisi benar bahwa kelompok pendukung Rizieq melakukan penyerangan lebih dahulu, maka penggunaan senjata api harus sebatas untuk melumpuhkan.
Sehingga, dalam menangani dan menindak enam orang tersebut polisi tidak boleh menggunakan cara pandang melawan teroris. Karena, kata Harits, mereka merupakan sipil biasa dan tidak terkait kelompok teroris apapun
"Jika ngikuti nalar kepolisian dan jika benar ada penyerangan, bentrok dan diksi kalimat lainnya ya tetap mereka adalah sipil bersenjata. "(Enam laskar pengawal Rizieq) sama sekali bukan teroris," kata dia.
Sebelumnya, Harits mempertanyakan tindakan polisi dalam menggunakan senjata api hingga menembak mati enam orang pendukung pentolan FPI Rizieq Shihab pada Senin dini hari di Tol Jakarta-Cikampek.
Menurut Harits, tindakan tegas terukur menjadi wajar apabila klaim polisi memang benar adanya. Tetapi melihat jumlah korban mencapai enam orang tewas, hal tersebut menjadi tanda tanya.
Baca Juga:Belum Baku Tembak, Begini Rekaman Pengawal Rizieq Shihab Saat Iring-Iringan
"Menurut saya, jika klaim polisi itu benar sesuai faktanya maka tentu penegakkan hukum dijalankan itu wajar. Yang tidak wajarnya adalah kenapa sampai menimbulkan enam orang korban tewas?" kata Harits.
Harits mengatakan sebagai penegak hukum, polisi yang profesional tentunya telah dididik untuk kendalikan diri dalam segala kondisi. Serta mampu menakar tingkat ancaman dan sadar bahwa dirinya adalah penegak hukum bukan eksekutor.
"Maka tindakan tegas terukur adalah dengan melumpuhkan dan bawa terduga pelaku tindak pidana ke meja pengadilan. Ini kan prinsip criminal justice system yang dianut," kata Harits.
Harits memandang, insiden bentrokan tersebut peelu diinvestigasi lebih mendalam. Pasalnya, keterangan dan klaim berbeda diutarakan dari kedua belah pihak antara polisi dan FPI.
"Jadi menurut saya, kematian enam orang anggora FPI menyisakan banyak tanda tanya. Karena pihak di luar polisi juga punya klaim substantif yang kontradiktif. Tentu ini menjadi pembanding sekaligus sebagai materi penting dalam investigasi untuk menemukan kebenaran dari peristiwa ini," kata Harits.