SuaraJakarta.id - Bicara mengenai Tahun Baru Imlek dan Kota Tangerang, maka salah satunya tak akan bisa dilepaskan dengan yang namanya warga Cina Benteng.
Cina Benteng merupakan sebutan kepada masyarakat peranakan Tionghoa yang tinggal di Tangerang. Penyebutan ini memiliki historis yang panjang.
Disebut Cina Benteng karena dahulunya terdapat sebuah benteng Belanda yang dikenal masyarakat pribumi dengan sebutan Benteng Makasar. Dibangun sekira abad ke-16.
Benteng itu difungsikan sebagai pos pengamanan untuk mencegah serangan dari Kesultanan Banten.
Baca Juga:Imlek di Tengah Pandemi, Klub Barongsai Kota Tangerang Gigit Jari Sepi Job
Benteng ini merupakan benteng terdepan pertahanan Belanda di Pulau Jawa.
Benteng tersebut merupakan pembatas wilayah Kesultanan Banten dengan VOC yang beririsan dengan aliran Sungai Cisadane.
Di sisi barat sungai wilayah kekuasaan Banten. Sebelah timur kekuasaan Belanda.
Pada tahun itu, VOC mengizinkan warga sekitar Benteng untuk membuka lahan pertanian di sekitar perairan Sungai Cisadane.
Kesempatan itu tak disia-siakan warga peranakan Tionghoa yang pandai bertani, untuk mendiami lahan di sekitar Benteng.
Baca Juga:Disebut Legenda Politisi Etnis Tionghoa, Begini Reaksi Ahok
Hingga akhirnya sebutan Cina Benteng pun melekat pada warga peranakan Tionghoa di Tangerang.
![Museum Benteng Heritage-Warisan Budaya Peranakan Tionghoa Tangerang. (Suara.com/Firsta Nodia)](https://media.suara.com/pictures/653x366/2017/01/26/o_1b7d0vd1f1ne8100223s13o71qcak.jpg)
Dosen Agama Budha Universitas Pamulang (Unpam), Surya Budiman menjelaskan, masyarakat peranakan Tionghoa pertama kali tiba di Tangerang tahun 1407.
Diketahui mereka mampu berbaur dan akrab dengan pribumi Tangerang. Mereka rata-rata bekerja sebagai petani.
"Masyarakat Cina Benteng itu datang pada tahun 1407. Langsung membaur dengan masyarakat di sana atau pribumi," ujarnya saat dihubungi SuaraJakarta.id—grup Suara.com—beberapa waktu lalu.
Surya menjelaskan, warga peranakan Tionghoa yang datang ke Tangerang terbagi menjadi dua gelombang.
Gelombang yang kedua lebih banyak berprofesi sebagai pedagang. Inilah yang membuat mereka berbeda satu sama lain secara ekonomi.
"Dari segi ekonomi, pedagang kan lebih kaya dibanding petani kan dan memang kondisinya demikian," tuturnya.
Surya mengatakan tidak tahu berapa jumlah penduduk waga Cina Benteng saat ini.
Secara kultur, termasuk soal adat pernikahan, warga Cina Benteng tidak memiliki perbedaan dengan nenek moyang mereka di China.
"Tergantung dasarnya. Kalau Budha ngikutin (ajaran) Budha. Kalau Hindu ngikutin (ajaran) Hindu. Jadi tidak ada perbedaan," pungkasnya.
Kontributor : Muhammad Jehan Nurhakim